Hujan 001/Girl/

110 14 0
                                    

-Deolinda Agatha-

Alunan musik berakhir, tepuk tangan penonton menyusul kemudian. Senyuman bangga dan terharu, terukir di wajah setiap pemain drama, drama musikal klasik yang baru saja selesai.

Di depan salah satu kursi penonton, aku berdiri, mengadukan kedua tanganku, dan mataku yang tak lepas memandangnya dari sini.

Ratusan penonton yang menonton drama ini, tak mungkin dia mengenaliku. Yah, tak mungkin dia mengetahuiku yang datang disetiap pertunjukkannya. Dan mustahil dia tahu tentang perasaan terpendamku terhadapnya.

Para pemain telah kembali ke balik tirai, di mana tempat mereka keluar dan masuk panggung. Aku kembali duduk di kursiku. Di sini tinggalku seorang diri, penonton yang lain, mereka sudah pergi meninggalkan teater.

Aku menatap kosong ke arah panggung yang sedang dibersihkan oleh OB. Sejenak hening. Hanya terdengar deru nafasku yang teratur, dan tentunya suara sapu yang sedang membersihkan panggung.

"nona, nona tidak pulang?" OB itu mengejutkanku, aku tersenyum simpul ke arahnya, dan berdiri pergi dari teater ini.

.

.

.

Menghela nafas dalam sekali lagi, mungkin itu kebiasaanku, entah sejak kapan. Sejujurnya aku belum mau pergi, aku tak mau berpisah dengannya. Ah, hanya aku yang membenci perpisahaan ini, dia tidak. Yah, dia tidak membencinya.

Kembali menghelas nafas dalam, berharap langit segera menghentikan tangisannya. Langit semakin menghitam, dan kurasa harapanku takkan terkabul.

Aku menatap ratusan air yang jatuh ke tanah, dan menciptakan genangan air yang tak dipedulikan. Kembali menatap langit, hitam, dan hujan takkan cepat berhenti jika langit masih sehitam itu.

Menunggu. Aku hanya diam menunggu sampai jemputanku datang. Seharusnya aku mendengarkan pembawa berita, bahwa aku-dan warga lainnya- harus membawa payung jika ingin berpegian hingga sore hari.

Sial.

Angin dingin mulai menusuk hingga tulangku, dan sebuah bunyi berhasil mengagetkanku. Bunyi sebuah payung yang terbuka.

Pandangan kami terpaku sesaat sebelum dia melemparkan senyuman hangat kepadaku.

"ingin pulang bersama?" aku terpaku dengan pertanyaannya, "atau ingin menunggu jemputanmu?" belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dia menarik tanganku, dan membuatku berada satu payung dengannya.

Aku masih terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah kata sedikitpun.

"tenang, aku takkan macam-macam dengan kamu," aku melemparkan senyumku kepadanya. Aku percaya padamu.

Ini pertemuan pertama kami yang tanpa disengaja. Hujan masih terus mengguyur kota, dan dia mengantarkanku pulang dengan mobilnya.

Selama perjalanan, pipiku memanas. Dia begitu banyak tertawa dan tersenyum di depanku. Itupun membuat jantungku berdetak tak karuan.

.

.

.

Aku akan tersenyum jika mengingatnya kembali, dan air mata kembali mengalir membasahi pipiku. Pertemuan pertama kami, pertemuan di mana mata kami saling memandang. Pertemuan itu sangat singkat, dan aku tak tau jika itu pertemuan pertama dan terakhirku dengannya.

Yah, aku benci perpisahan jika itu sesakit ini. Aku tak pernah bertemunya lagi sejak hari itu.

TBC

Ekliptika 0:0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang