Gemuruh 003/Girl/

70 12 2
                                    

-Deolinda Agatha-

Pukul 4 sore, namun langit sepeti hari sudah sangat malam. Gelap, tak ada sedikit pun cahaya di atas sana.

Yah, awan mendung memenuhi setiap ruang di langit kota sore ini.

Dari jendela cafe terlihat jelas kesibukkan orang kota. Entah itu pekerja, maupun turis yang sedang berwisata di sini. Mereka sungguh sibuk, sampai tak peduli dengan awan mendung yang semakin berkumpul menjadi satu di langit.
.

.

.

Uap panas dari latte mengepul di udara setiap sudut ruang. Orang-orang di sini juga sibuk dengan urusan mereka, tak peduli dengan latte mereka yang semakin mendingin.

Di luar sana, rintik hujan mulai membasahi kota. Semua orang panik, mereka berteduh dan ada yang berusaha menobros hujan, berharap sampai di rumah tidak terlalu basah.

Aku menyesap moca latte dengan perlahan. Mencoba menikmati waktuku. Yah, waktu untuk menyendiri dalam kesunyian.

Awalnya, satu-dua-tiga rintik hujan yang bergantian turun. Namun sekarang, mereka seolah berebut ingin turun, ingin menikmati sensasi baru yang ada di bumi.

Helaan nafas panjang terdengar keluar dari mulutku. Mataku kembali menatap keadaan di luar sana, menatap beberapa orang yang mulai berteduh di teras toko.

Krriing..

Bunyi lonceng yang terletak di atas pintu masuk, membuatku sedikit menoleh ke arah pintu. Yang juga membuyarkan argumen tidak penting di dalam benakku.

Seorang pria yang memakai jas, dengan dalaman kaos putih polos, masuk ke dalam cafe. Cengiran di wajahnya tak luntur, dia masuk dengan jas yang cukup basah.

Namun dengan bodohnya dia menepuk-nepuk jasnya. Seolah itu akan membuat jasnya kering dengan cepat.

Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling cafe, berusaha menemukan meja yang kosong.

Nafas panjang kembali ku keluarkan, mengerlingkan mataku, yang menunjukkan sikap tidak peduliku dengan pria tadi.

Jeeglarr

Hanya ada bunyi, tanpa ada kilatan cahaya di langit. Namun itu cukup membuatku terkejut, begitu pula dengan semua orang yang ada di cafe.

Kedua tanganku menangkup wajahku, berusaha menenangkan diri. Jujur, aku terlalu kaget dengan bunyi guntur tadi.

"Hai!" Suara berat namun lembut kembali mengagetkanku. Pria tadi menyapaku.

Aku terdiam, pria itu masih berdiri di depanku, mungkin menungguku membalas sapaannya.

Yah, pria yang baru masuk, dan langsung menunjukkan sikap bodohnya.

Mulutku masih terkunci, namun memoriku berkerja. Ingatan yang sudah lama kupendam, kukubur dalam-dalam, ingatan yang tak ingin kuingat sama sekali, muncul seketika. Gambaran tentang memori itu terlintas dengan cepat di otakku.

Satu tahun, selama itu, seharusnya memori itu sudah kulupakan, sudah kubuang jauh. Tapi kenapa seolah memori itu menjadi boomerang, kembali lagi. Kembali kuingat.
.

.

.

Pukul 5 sore, di atas sana masih sangat gelap, dan rintik hujan kembali menyerbu ingin turun. Sama seperti dulu, di saat drama selesai, di bawah langit gelap yang membawa air langit turun, aku bertemu dengannya.

Dia tersenyum. Senyuman yang hangat, yang membuat otak dan hatiku tak menentu.

"Apa kabar?"

Inginku tersenyum kecut ke arahnya. Namun tubuh tak bergerak sesuai yang diperintahkan otak. Aku hanya diam.

Yah, hati ini bergejolak senang. Namun entah kenapa kesenangan itu seperti kabur, tak terasa sama sekali.

Aku tak bisa menjelaskannya, hanya saja seolah ada perasaan lain yang muncul bersamaan.

Mataku hanya menatapnya. Lidahku keluh, aku tak ingin mengucapkan sesuatu maupun membalas dan menjawab pertanyaannya.

Aku senang, pertemuan kami berlanjut. Namun entah mengapa, aku ingin menangis.

TBC

Ekliptika 0:0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang