Satu

102 3 0
                                    

Dihadapan Bapak RT yang lengkap ditemani dua orang tetangga yang ikut menjadi saksi. Mereka turut andil membantu Sonya yang kala itu sedang berusaha menyiasati rasa sakit yang diakibatkan oleh suaminya sendiri.

Bak seorang wanita yang tak pernah tau bagaimana rasanya belajar sopan santun. Ia melengos tanpa sedikitpun kesopanan. Ia berdiri dan menghela nafas. Ada gumpalan-gumpalan emosi pada tiap deru nafas yang bergemuruh itu. Semua orang yang ada di ruangan seperti kehilangan akal untuk berfikir. Mereka bengong layaknya kambing linglung. Sementara itu, Sonya kukuh melangkahkan kakinya. Ia mantap meninggalkan ruangan.

Mentari, sahabatnya dengan sigap menuju keluar ruangan menyusul karibnya itu. Tanpa satupun aba-aba, Tari menghampiri Sonya. Tari kesal! dengan kelakuan sahabatnya itu. Seperti abai. Sonya sama sekali tidak menghargai pak RT, pada upayanya tampil sangat rapi lengkap dengan peci hitamnya hari ini.

"Son! Lu bego apa ya!" Tari bersungut. Berbicara dengan gerakan tangan yang nyaris seperti akan menempeleng kawannya itu.

"Mau lu apa? Jawab! Cuma buat lu, gue rela cuti. Karena gue care sama lu, makanya gue bela-belain ngintilin laki lu. Ngumpulin bukti perselingkuhan. Sampe sini usaha gue, berhasil ngumpulin laki lu sama selingkuhannya buat mediasi" tambahnya.

Sonya diam. Perkataan dari sahabatnya itu, tidak berhasil memantik emosinya. Tatapannya kosong.

Bahkan hari ini tak seperti yang Tari pikirkan. Jauh meleset. Sonya nampak sangat tenang. Ketenangan yang entah darimana ia dapatkan. Atau bisa jadi itu hanyalah tanda bahwa dia mulai stress dalam menghadapi masalahnya.

"Mau lu tuh apa?" Tanya Tari sambil merengkuh kedua bahu Sonya.

Sonya tetap diam. Tubuhnya terasa ringan. Berbanding terbalik dengan beban yang sedang ia pikul. Sementara itu, Tari tak henti-hentinya disambangi oleh rasa bingung berbalut iba. Tari Terpaksa memarahi karibnya itu. Ia kehabisan akal. Padahal berbulan-bulan lalu, Sonya selalu pada semangatnya untuk mengungkap perselingkuhan yang terjalin antara suaminya dengan wanita itu.

"Hati-hati dengan apa yang kamu minta sama Tuhan Ri. Pada dasarnya Tuhan maha pendengar" kata Sonya. Jawaban Sonya kali ini sangat tidak nyambung.

"Apapun itu, jangan jadi manusia sok tahu. Didahapan-Nya aku bersimpuh. Meminta sesuatu yang akhirnya menusukku sendiri."

"Itu bukan salah Tuhan. Ini salahku!" Tambahnya.

Tari mengeryitkan alisnya.

"Anyaaaa!" ujar Tari setengah berteriak. "Lu gak konsisten banget jadi orang. Semua udah kumpul nih" "Ini kan yang lo pengen?"

"Jawab Nyaaa!" Tambah Tari. Tari sudah kehabisan akal. Sedangkan Sonya masih saja tenang.

"Sepertinya aku minta: pisau, duri, dan samurai kepada Tuhan dan sekarang aku berdarah. Itu salahku." Lagi-lagi jawaban Sonya keluar lintasan.

Tari menyerah. Ia hempaskan kedua tangannya penuh tenaga. Hanya menghempas udara. Bagaimana tidak, enam bulan lalu, Sonya merengek pada Tari untuk membantu mengungkap perselingkuhan itu. Seharusnya, hari ini ada final dari sebuah drama yang dimainkan oleh suaminya.

Padahal Tari empat berfikir, bahwa hari ini akan menjadi hari yang runyam. Ramalan Tari meleset. Ia fikir bakal ada yang terkena lemparan pantat panci hari ini. Entahlah! Tari merasa setiap usahanya tidak dihargai. Kecewa. Meski begitu ia tak pernah kehilangan rasa kasih kepada sahabatnya itu. 

SamaraWhere stories live. Discover now