Empat

57 1 0
                                    

Keesokan harinya. Cuaca menampakan diri, ia begitu cerah. Berbanding terbalik dengan keadaan hati Sonya. Muram. Semalam ia tidur lebih awal dibandingkan dengan suaminya. Membuat semua tanya semalaman menginap di otak suaminya dan terpaksa larut dalam mimpi. Dipaksa mengendap hingga esok pagi.

Sonya tidur paling awal, tapi tak' membuat dia bangun lebih awal. Alva terduduk di hadapan jendela yang terbuka empat puluh lima derajat. Jendela membuka kesempatan kepada angin untuk membelai tiap apa, dan sesiapapun yang ada di kamar milik pasutri itu.

Suaminya itu kini mengarahkan pandangannya ke arah istrinya. Penuh iba, namun tanpa sedikitpun nafsu. Ia menyesap kopi hitam yang terpaksa ia buat sendiri. Ia menyesap kopi tanpa memandangi itu, sebab pandangannya sudah mutlak terarah kepada istrinya.

Rambut Sonya mirip singa yang dipaksa kawin. Sebagian rekat pada permukaan bantal yang dilapisi oleh sarung bantal berwarna hijau daun. Tidak ada yang teratur. Gerakan saat ia tidur, brutal. Menyisakan kasur yang sangat kusut.

Asap mengepul. Suara jam mendetik. Akhirnya Sonya mengucek matanya perlahan. Entah siapa yang melukis rona hitam pada bagian bawah matanya. Senyum Alva menyambut kebangkitannya dari mimpi. Tapi tak ada sedikit pun upaya Sonya untuk menggubris sapaan itu.

Sonya membalikan badan. Ia membuat dua buah aliran airmata. Ia ingat betul peristiwa semalam. Pahit.

Alva mengambilkan segelas air. Ia memanggil Sonya dengan suara yang lembut. Sonya hanya diam. Pandangannya kosong. Hingga tangan Alva mendarat lembut di bahu Sonya yang dingin itu.

Alva menyiapkan handuk. Semua berjalan seperti semestinya. Sonya bangun. Mereka sarapan bersama. Hanya muram pada wajah Sonya yang tak kunjung pergi. Seperti tak ada gairah.

*

Sudah ada yang menanti Alva untuk makan siang, yaitu para kolega dari kantornya. Hari ini memang minggu, tapi mereka telah bersepakat mengatur waktu untuk bertemu.

Alva dengan sangat terpaksa meninggalkan istrinya. Sudah ke sekian kalinya ia bertanya.

"kamu kenapa?"

"ada masalah apa?"

Ragam pertanyaan itu hanya mendapat jawaban "tidak apa-apa".

Tanpa sedikit saja memberi ruang pada otaknya 'tuk sekedar berfikir. Apakah ada perilakunya yang dapat membuat istrinya bersedih. 

SamaraWhere stories live. Discover now