Alam Semesta Versigi
Jl. Embong Malang Gg V, Surabaya, Daerah Administratif Khusus Ibukota Region Barat, 4 Mei 2010.
Nandi membuka selubung peti mati saudara tertuanya itu, lalu meletakkan telapak tangannya ke tangan jenazah kakaknya sembari berdoa dalam hati, "Ibu Bumi, terimalah jasadnya dalam dekapanmu dan tuntunlah jiwanya dari dunia ini kepada Danarmawa, jalan bagi para arwah. Ayah Hutan, bimbinglah jiwanya ketika ia tersesat di Hutan Jiwa. Putra Langit jagalah jiwanya dari dekapan musuh-musuhnya."
Nandi melihat ke arah ibunya. Wanita paruh baya itu sedang dihibur oleh ibu-ibu tetangganya. Tidak tega ia melihat wanita itu sejak semalam terus menangis akibat kepergian anak kesayangannya. Ya, Nandi tahu bahwa kakak sulungnya adalah anak yang paling disayangi ibu mereka setelah Wima si bungsu. Nandi melihat kembali ke arah jenazah kakaknya yang sudah terbujur kaku dalam peti mati.
Tangan Nandi mengepal keras dan dalam hati ia menjerit-jerit, "Bodoh kau, Kak! Bodoh! Kau langgar janjimu!"
Di antara riuh rendah keramaian rumahnya Nandi menatapi sebuah lemari kaca yang ada di tengah ruang tamu rumah ini, sebuah lemari kaca setinggi 2 meter yang penuh akan kertas piagam, serenteng medali dan piala-piala kejuaraan. Lemari itu memiliki 3 tingkat, setiap tingkat memuat piala, medali, dan piagam milik masing-masing anak. Dari atas ke bawah ia baca satu per satu nama-nama yang tertera di sana, "Teguh Harimurti Sanjaya, Sumitra Ankara, Wima Tirtabhani ...., " dan ia tidak menemukan namanya di sana.
"Nandi!" panggil ibunya.
"Ya, Ma?" jawab Nandi.
"Jemput Wima di sekolahnya sekarang!" perintah ibunya.
"Ya Ma," jawab Nandi yang langsung mengambil kunci motornya.
Nandi membuka pintu garasi, mengeluarkan sepeda motornya lalu memacunya ke SMPN 2 Surabaya. Di sana ia lihat seorang remaja lelaki berusia 14 tahun yang tampaknya menunggu seseorang.
"Naik!" ajak Nandi pada remaja lelaki tersebut.
"Kak Nandi, ada apa kok Mama minta aku cepat pulang?" tanya Wima.
Nandi terdiam, tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan adiknya ini. Hatinya tidak tega untuk membeberkan fakta menyedihkan yang terjadi, otaknya mengatakan lebih baik jika ia sembunyikan dahulu fakta itu dari adiknya.
Pada akhirnya Nandi hanya menjawab, "Nanti di rumah Mama akan jelaskan semuanya."
Wima merenggut sebal, ia paling tidak suka ada rahasia-rahasiaan, namun melihat kakaknya memasang muka serius membuatnya mengurungkan niat untuk berdebat dengan kakak ketiganya ini. Sepeda motor itu pun melaju melalui aliran kendaraan bermotor menuju sebuah rumah di kawasan Embong Malang.
Di sana tampak sanak keluarga dan tetangga-tetangga mereka berkumpul di dalam rumah membuat Wima keheranan. Tapi tak butuh waktu lama bagi para sanak keluarga dan tetangga untuk membuat tangis Wima pecah siang itu.
Tiga bulan kemudian
Ujian negara dan pengumuman kelulusan sudah berakhir. Nandi sudah menyelesaikan pendidikan tingkat tiganya[1] dan kini ia berencana mengikuti pendidikan sarjana di sebuah sekolah tinggi.
Nandi menghadap ibunya di ruang tamu. Tampak wanita paruh baya itu sedang membolak-balik koran dan di sana Nandi mulai memberanikan diri bicara, "Ma, saya sudah menyelesaikan pendidikan tingkat tiga saya di sini. Apa pendapat Mama jika saya memasuki Sekolah Tinggi Ekonomi Citrapata yang ada di Jalan Arjuna itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Contra Mundi - Putra Bumi
FantasíaMahija Nandi, seorang pemuda yang melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia dan memilih berlindung di balik kehidupan spiritual dipaksa keluar dari kehidupan tenang yang selama ini ia jalani. Sebuah takdir aneh membawanya untuk bertemu kembali dengan or...