1. Perempuan yang Sedang Menonton Pacuan Kuda Besi
°°°
Siang menjelang sore di Balai Bahasa Yogyakarta yang sedang ada acara meet and greet dengan salah satu sastrawan Indonesia bernama Joko Pinurbo, acara yang di mulai sejak jam satu siang itu kini tinggal pada sesi tanda tangan dan foto bersama. Yang di mana pada sesi itu adalah yang paling ditunggu-tunggu pengunjungnya. Dan salah satu pengunjung itu, yang ada di barisan di antara remaja-remaja perempuan, adalah Rio. Pria itu dengan sabarnya berdiri dalam antrian barisan yang menjalar seperti ular, demi bisa mendapat tanda tangan di buku yang ada di genggamannya. Dan bukan hanya satu buku yang ia bawa, Rio membawa dua, yang di mana salah satunya adalah milik sahabatnya yang tidak bisa ikut ke acara ini.“Pokoknya nih ya, pas pak JokPin lagi tanda tanganin buku aku, kamera hp kalian harus siap siaga. Neneng, kau video, Maya tentu saja fotoin setiap detiknya.” Suara berlogat Batak dari tiga remaja di depan Rio terdengar oleh pria itu yang saat ini sedang sibuk dengan ponselnya.
“Hadehhh iya, Lelly, kamu udah ngomong begitu sejak pertama kali acara meet and great ini di-share di sosmed penerbitnya.” Remaja yang di belakang berlogat batak mendesah seperti orang kebosanan mendngar ucapan temannya itu.
“Dan sejak subuh kamu teh ngomongnya kayak gitu terus, Lelly Sihombing.” Kali ini suara remaja yang barisannya tepat di depan Rio menyahut ucapan remaja berlogat Batak itu dengan logat Sunda.
“Kalian nggak tau sih, bagaimana perasaanku saat masih tinggal di Medan. Udah aku nggak bisa jadi salah satu pemeluk pertama karya beliau yang baru terbit ini pas PO kemarin.”
“Suruh siapa nggak PO.”
“Kau tau sendiri May, aku tuh di Medan, ongkir Jogja ke Medan tuh bikin kantongku menangis. Dan foto sama video ini, nantinya mau aku kirim ke mamakku di Medan sana, karena ini sebagai bukti bahwa anaknya ini selain bisa ada di kota yang sama dengan penulis favoritnya, juga bisa foto bersama. Pokoknya tuh, aku berhasil membuktikan kalau bukan hanya mamakku saja yang mengidolakan Ika Natassa, dan pernah foto bersama penulis favoritnya itu.”
“Ya sama sih aku juga di Makassar, ongkirnya berat, lebih berat dari rindunya Milea ke Dilan tuh. Eh jangan-jangan tujuan kamu kuliah di Jogja cuma buat biar satu kota dengan JokPin ya?”
“Ya nggak gitu juga, May, SNMPTN waktu itu membuatku harus memilih, antara USU dan UGM. Dan sebagai penggemar JokPin, ya aku memilih Gadjah Mada lah hehe.”
“Maraneh garandeng ih, cicing naha, karunya anu tukangeun urang,” suara Neneng dengan bahasa Sundanya menginterupsi Lelly dan Maya yang saat itu langsung diam dan menengok ke orang yang ada di barisan belakang mereka.
Maya melihat yang dimaksud Neneng, mata gadis itu membelalak melihat seorang pria yang ada di belakang Neneng. Kedua telapak tangan Maya langsung menangkup telinga kanan Neneng, ia berbisik, “kenapa kamu nggak bilang sih, kalau ada Oppa-oppa tampan di belakang kita ini, Neng?”
KAMU SEDANG MEMBACA
22:02
Chick-LitSudah jelas perbedaan itu sangat terlihat sekali. Tetapi, bagaimana jika perbandingan antara perbedaan dan persamaan itu sebanding, namun juga ternyata masih diragukan? Dari pertemuan tak disengaja, lalu pertemuan lagi yang menciptakan obrolan, dan...