Entah berbekas pada hati atau pikiran saya? Sebab semua yang telah saya dengar dan telah saya saksikan begitu menodai akal sehat saya untuk tetap berpikir jernih. Mungkin saya pelupa dan bodoh. Tapi hati dan pikiran saya tidak begitu bodoh untuk menerima dan melepas sakit yang pernah berlabuh secara percuma. Sedikit banyak itu membuat pengaruh yang sangat besar untuk saya. Untuk kepercayaan diri saya akan hidup yang selalu berjalan terhimpit oleh cacian dan dunia yang terlalu canggih. Kehidupan yang semakin canggih menyusun hati saya semakin terbalik sebab Gaptek (gagap teknologi). Saya yang jatuh selalu sulit untuk kembali terbangun.'Semakin besar usaha kalian untuk mengecilkan saya, maka sekecil itulah kehidupan yang selalu memilihku'
***
Ini adalah sekolahku, untuk yang terakhir kali keputusanku mengakhiri hina dalam bayangku. Kalian yang memandangku sebelah mata. Kalian yang melihatku dari sudut terburuk telah siap menghancurkan pendirianku secara perlahan. Aku yang dulu menangis menanggapinya kini berusaha lebih dewasa. Kalian yang membuat luka-luka, aku biarkan larut dalam hembusan nafasku yang sesak. Biarlah kalian tak usah menghentikan itu. Biar kalian lihat siapa kalian? Sebelum kalian menilai siapa aku.
"Kamu ngapain disini?" Kalian melontarkan kalimat bodoh dengan pertanyaan seperti itu. Tanpa harus ditanya pun kalian tahu sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu yang tidak bersalah. Tapi, aku tetap menjawab nada bicara kalian yang seolah mengatakan "Kamu gak boleh sekolah disini!".
"Ya, untuk belajar." Jawabku sambil memutar pandanganku keluar jendela. Enggan melihat semburat benci yang kalian pancarkan melalui mata bening kalian.
"Lah.. aku juga tahu ini tempat belajar. Ngapain kamu diem di kelas aku!" Dia memutar bola matanya dengan payah. Sedikit mengetuk meja membuatku tersentak karenanya.
Dengan susah payah aku menahan rasa gugupku. Aku memberanikan diri untuk melihat wajah kalian sekilas. "Kelasku juga disini." Jawabanku kubuat sesingkat mungkin agar kalian juga paham.
"Ah... elah. Kenapa guru memasukkan orang beg(o) si di kelas ini? Kayak gak ada orang lain aja." Lalu, setelah mengatakan kata-kata andalan kalian untuk menjadikan seseorang korban bully termenyedihkan, kalian pergi. Kalian tidak pernah menyadari betapa setiap penekanan kata kalian telah menciptakan ruang maaf yang semakin besar dalam pikirku. Aku yang harus melupakan kunci memaafkan sebab lupa cara mengampuni diriku sendiri. Lupa cara menggembok hatiku dari perilaku kalian semua. Jadi, kubiarkan kalian menyakitiku dan aku telah memaafkan. Meski tak sepenuhnya aku memaafkan.
Kalianpun terlalu sayang dengan lisan kalian untuk menyebut namaku dengan benar. Kalian memanggilku dengan panggilan yang mengubah pandanganku tentang ajaran budi. Aku bernama monster, jelek, hitam, bodoh, kismin, dan nama-nama lain yang seharusnya kalian bersyukur, Sebab masih ada orang seperti aku ditengah canggihnya kalian. Kalian terlalu ingin aku kenang atas kesan yang kalian beri dalam indera pendengaranku. Itu bukanlah sebuah beban untukku, itu adalah moment yang tidak akan aku dapati dari sahabatku. So, thanks.. udah kasih kesan beda di masa remajaku.
Tidak jarang pula kalian memandangku dengan pandangan jijik, rendah yang terlalu rendah, bahkan kalian selalu menatapku sekilas lalu mengatakan "Ih...." berulang kali. Membuat telingaku sakit rasa tertiban durian. Sakitnya yang membuat bercak bercipratan darah perih. Dan sengaja ataupun tidak, ketika kulit kalian bersentuhan denganku, meski sekilas! kalian akan tetap memukul diri kalian. Mengusap-usap kasar kulit kalian, seolah aku ini adalah najis yang harus dihindari. Seolah menyentuhku adalah sebuah kesalahan yang berakibat dosa besar. Air mataku sudah surut untuk menangisi tingkah kalian. Sudah hilang kendaliku untuk bertahan dalam diam.
***
Ini adalah kisah perjuanganku, jalanku yang sempit untuk sedikit memutar balik arah mimpiku. Akan aku buktikan aku bisa meski takkan kalian lihat. Aku mengawali semua nya di semester awal kelas XI. Aku berjalan menuju seperti biasa. Pelajaran yang guru ajarkan benar-benar aku perhatikan. Berusaha acuh dengan pandangan kalian yang berbisik-bisik mengomentari keadaanku. Aku pun memberanikan diri menjawab pertanyaan guru di depan kelas. Meski gugup dan takut jawabanku akan salah, aku tetap mencoba. Kalian belum lihat sisiku yang ini bukan? Tenang saja, masih banyak diriku yang lainnya. Yang tentu tidak akan membuat kalian menyukaiku, tapi sedikit membungkam mulut kalian bukanlah hal sulit untukku.
"Ngapain? Ngapain kamu lihat muka aku?"
"Nggak.. aku gak liatin muka kamu." Jawabku berusaha terdengar biasa.
"Lain kali gak usah sok kenal! Modal kaki aja bangga!" Setelah mengatakan itu, kalian pergi bersama dengan keheranan dipikirku. Aku heran kenapa mereka mengatakan hak yang wajar. Jarak rumah dan sekolahku tidak sampai 1 km. Jadi aku berjalan sekalian beolahraga. Sementara mereka? Meski jarak rumahnya lebih dekat tetap diantar jemput. Prmborosan dan tidak menghemat waktu orang tua yang akan pergi brkerja.
"Memang sulit tapi perlahan saja. Membuat mereka diam tanpa mengusikku. Setelah itu kamu akan bebas berpendapat." Gumamku pada diri sendiri.
Setelah sekian lamanya, aku berhasil membuat mereka diam ditempat. Tahun ini, aku berhasil menjuarai kelasku. Kalian yang dulu berada di atasku diam tidak menerima. Akupun tidak berbangga diri, atau membusungkan dadaku. Justru aku menunduk sedalam-dalamnya untuk menghindari pandangan kalian. Terdengar banyak sekali kata-kata sindiran yang terucap dari kalian. Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya.
"Kok bisa si?" Salah satu diantara kalian bertanya sambil menatapku lekat. Tidak ada benci hanya rasa tidak percaya yang terlihat.
"Kan gak mungkin kalau aku pake suap. Aku orang miskin." Aku menjawab dengan sebuah kesakitan sebab ingat kata kalian bahwa aku si kismin.
"Nyindir??? Bagus deh kalau sadar..." Kalian menepuk pundakku sambil lalu. Hanya menepuk tanpa mengusap kasar tangan kalian yang menyentuhku. Sebuah penghargaan dan kemajuan terbaru. Aku tidak lagi sepayah dulu.
Kalian memang tidak menjadikanku teman, atau menganggapku ada saja tidak pernah. Tapi, sejak saat itu kalian tidak lagi mengusik aku yang jelek, bodoh, dan lainnya. Sekarang aku menikmati masa sekolahku meski tak memiliki kepercayaan diriku. Ah.. iya, karena perilaku kalian, percaya diriku hilang. Meski aku pinta dia tidak pernah mau kembali.
"Kamu udah PR? Pinjem dong! Aku lupa belum mengerjakannya." Suatu hari yang menjadi bersejarah. Kalian yang menatapku sebagai si bodoh, ingin menyalin PR ku. Aku tersenyum simpul, bukan karena ingin ramah pada kalian. Hanya saja lucu kalau ingat kata-katanya.
"Cepet elah...!" Dengan satu tarikan buku PR ku sudah pindah tangan. Kalian menyalin PRku tergesa.
Aku memang gagal menghentikan sikap kalian tethadapku. Aku juga tidak akan meminta kalian menjadi temanku. Aku hanya si bodoh, yang berhasil mengeluarkan sisi terdalam dalam diriku. Sedikit menutup kelemahan jati diriku. Sekarang, kalian sering datang kepadaku, tidak untuk meminta maaf. Hanya untuk mengambil sisi lain hidupku tanpa mengusik hari kemarin, hari kalian yang berperan sebagai pembuat luka dihatiku. Biarlah.. semua aku biarkan. Asal tidak lagi aku mendengar sakit yang menusuk telingaku. Meski pandangan itu tidak pernah hilang dari mata kalian.
***Teruntuk kalian yang membenci aku teramat dalam. Biarkan aku merèka ulang kelam yang menggoreskan sayatan pilu di balik jeruji hatiku yang membeku. Biarkan aku tetap memiliki bekas meski sepatutnya kuhilangkan. Lakukan sebahagia kalian. Aku disini akan membiarkan setiap goresan bertambah setiap detiknya. Sebab bekas di hati ini hanya sisa yang takkan kalian pandang ketika kalian berbalik dan meminta harap bantuan.
Jum'at, 7 September 2018
***
Netizen.... cabe! Saya butuh cabe... komen secabe-cabenya ya! Biar saya tau seburuk apa tulisan ini😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerami Membeku
Random_Memahami cinta itu ibarat memperhatikan air yang mengalir. Datang dan pergi begitu saja tanpa harus ada pertanyaan_ Biar sekali aku menikmati hidup tapi aku memahaminya! hanya karena diam-diam aku sering memperhatikan hidup orang lain. *Bag...