Benci

4 1 0
                                    


    Pada sebuah mimpi yang menyakiti. Benci, maaf kuucap kembali. Pada apa-apa yang datang dan pergi tanpa permisi. Sekali lagi maaf, benci kuucap kembali.

***

   Bukankah benci dan cinta itu beda tipis? Semacam itulah yang kutahu dan yang kurasa. Sejujurnya perasaan benci mana yang pernah membuatku membencinya kembali? Meski banyak hal yang membenciku, sebelumnya aku tidak pernah membenci kembali hal hal itu. Tapi sebuah perasaan besar yang menuntunku dewasa, memutarbalikkan kebijakanku. Sekarang aku mudah benci, mudah marah dan mudah meledak ledakkan setiap emosiku. Sehingga rasa benci sangat dominan di hidupku.

   Ada yang menanamnya kah? Itu tanya kalian. Aku mengangguk mebenarkan kenyataan. Siapa? Lanjut salah satu kalian.Tentu! Mereka itu, mungkin kamu, dia, mereka ataupun kalian sendiri. Iya, faktor utama dari kebencian adalah rasa sakit. Sakit yang terasa karena kalian tak sama memandangku. Banyak hal dari kalian tak menyadari perilaku kalian justru melukai.

   Langit, bahkan belakangan berpihak padaku. Pada aku yang berangan diketinggian yang kelabu. Dengan hati merah yang lambat laun membiru hingga menghitam. Hati itu berubah karena tak ada lagi bunga-bunga tawa yang menghidupkannya. Seolah tawa itu layu sebab hujan mengguyurnya kian deras setiap harinya. Tak ada kesanggupan untuk menerima kebanyakan pemberian itu. Tanpa kalian sadari. Yang kalian bagi telah disyukuri dalam tangis, dan harap jeda. Dalam kesakitan dan harap laut lindungan.

    Maaf, hari ini mungkin seringkali akan kuucap. Betapa aku benci! sebenci-benci aku mengucap kata benci. Dalam satu hari  berpuluh pelarian telah dicari. Mulai dari menyendiri, bersembunyi atau mencari-cari penghibur diri. Semua berakhir pada sepi yang menarikku kembali membenci.

    "Kenapa?" Tanyaku pada langit yang semakin kelabu. Pada hujan yang semakin menggebu. "Kenapa?" Kuulang kembali pada hening yang bergeming. Semua mengarahkan pada benci itu. Sehingga tanyaku hanya ditanggapi sepi diruang yang padam cahayanya.

    "Ah,,, sakit!" Aku mengeluh meremas dadaku yang semakin sesak menyiksaku. Entah ada apa dibalik rusuk ini sehingga sesaknya sangat menyakiti dan melukaiku. Benci, maaf untuk kesekian kuucap kembali. Pada nafas sesak yang tak menolong kesakitan. Pada air mata yang tak menyusut meski perih merasuki.

   "Ada apa?" Tanya logika yang tak menerima. Pada pemikiran yang tak berubah. Pada keadaan yang selalu menyerah.

***

    Hari ini matahari tak menampakkkan sinarnya. Seolah paham dengan isi pikiranku. Sama-sama mendung, sama-sama dingin. Tak ingin bersinar untuk beberapa waktu. Biar mereka itu tau bagaimana rasanya redup kala kita berharap benderang.

   Ada beban yang mengikutiku meski aku bersekolah dan bertemu teman. Tak mereka tak terlebih dahulu oulang agar ku bisa belajar dan bercanda bersama teman. Beban itu jahat!! Dia menyiksaku dalam pemikiran yang dikekangnya. Terus menarikku ke dalam kegelapan tak beradasar.

    Selebihnya benci ini akan kurakit kusatukan dengan beban. Nanti lekas lekas kujadikan sebuah kisah. Lepas dari segala kebencian itu, aku sayang. Aku menyayangi kebencian itu. Karena tanpanya aku tahu apa soal salah. Soal wajah baik yang bermodalkan topeng yang tipis. Topeng tanpa harga. Topeng transparan jelas sekali terlihat wajah aslinya untuk menerkam kebodohanku.

    Ahhh benci. Maaf tak akan kuulang sekali lagi. Karena dihari mendung ini aku sedang ingin berbahagia. Aku ingin bersyukur kepada-Nya. Aku sedang ingin bersenandung memastikan mereka baik baik saja. Aku sedang ingin menebar kecerahan di hariku meski langit di sana mencipta banyak wajah murung.

#akan aku tinggalkan benci itu sementara waktu dan semoga menjadi selamanya.

Jerami MembekuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang