Utara dan Selatan

1 1 0
                                    


    Mau arah mana yang kamu pilih untuk berlari? Menghindar dari semua yang kamu benci. Berlawanan dengan arah yang digariskan, melawan pada jarak yang menipis? Tahukah bahwa pada akhirnya akan kamu temui juga masalah itu. Masalah senantiasa bersama kita. Senantiasa mengikuti atau menunggui kita. Sejauh apapun kita mengelak, kita tetap akan bertemu dengan masalah. Karena laripun apada akhirnya akan bertemu juga dengan masalah dihadapan kalian.

.....

    Aku Utara, seseorang yang selalu berlari menghindari kenyataan. Aku melarikan diriku dari kegagalan dan segala macam kesulitan. Mencari cari arah yang lurus dengan perhentian mendebarkan. Dari sekian banyak pelarian, aku tak mendapatkan hasil yang aku inginkan. Bahkan ketika langkah semakin panjang, semakin cepat dan semakin jauh, masalah semakin rajin mendatangiku, menghubungiku, menyambutku, menemaniku, dan semakin cepat mengikutiku.

    Berbeda dengan kehidupan di seberang, Selatan. Dia tampak tersenyum sepanjang waktu. Tampak diam ditempat menyambut dan menghadapi setiap masalah yang ada. Antusias menghancurkan satu persatu masalah yang menghampirinya. Terkadang Ia berlari mengejar ketertinggalannya. Aku salut padanya dan aku tentu mengidolakannya. Hanya saja aku tak bisa menjadi sepertinya dan mengikuti setiap caranya. Setiap kali hati ingin berusaha sepertinya, logika selalu menjauh mengatakan lari dan hindari.

   Tentu saja aku frustasi. Tapi, biar bagaimanapun aku memiliki cara sendiri untuk berdiri.

   "Hai..." Suatu pagi Selatan menghampiri. Dengan senyuman lebar dibalik cahaya matahari. Sinarnya begitu menakjubkan. Membuat orang terhanyut dalam keceriaannya.

   "Hai... Juga!" jawabku. "Ada apa?" sambungku heran melihatnya hanya duduk disampingku. Mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, itu tidak lama karena kemudian dia menutupnya lagi. Nafasnya terdengar berat dan matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang ditahannya.

    "Hei... Ada masalah? Kenapa murung?" tanyaku keheranan. Ia mengenal nafas lagi, ekspresinya menahan beban yang begitu beratnya sehingga tak ada lengkungan manis yang terukir.

   "Aku ingin menangis dan lari sepertimu." katanya lemah, serak dan berat.

   "Kalau begitu menangis dan larilah sesukamu. Tidak ada yang melarang." Hiburku menyentuh pundaknya yang turun mungkin karena lelah. Mengusapnya perlahan, berharap dengan itu bebannya turut larut.

   "Tidak ada harapan. Semua akan sia sia jika aku menangisi kegagalan. Aku benci terjatuh. Tapi, aku mengalaminya juga. Bahkan terlalu sering. Ini dibatas kemampuanku."

   Beberapa saat aku merenungi perkataannya. Dan kenyataannya aku tak bisa lebih bijak dari Dia biasanya. Perlahan aku menarik ujung rambutnya untuk bisa melihat matanya yang sayu.

   "Tapi setidaknya kamu harus menangisi kesakitan yang tidak biasa kamu rasa. Mungkin takkan menyelesaikan tapi, setidaknya itu bisa membuatmu sedikit lebih lega."

   Kemudian aku melihat dadanya naik turun. Isakannya halus dan mata sembab itu menghujani wajah manisnya dengan beban yang Ia tumpahkan. Aku merangkulnya sedikit erat. Menyalurkan sisa energi dari sekian kesusahan yang aku sisakan.

   "Semua sudah ada rencananya. Setiap kesulitan ada penyelesaiannya. Caramu mengatasinya hanyalah dengan menghadapinya atau menghindarinya. Bukan karena kamu biasa menghadapinya kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan bijak. Sesekali kamu harus keluar dari zona yang biasa kamu arungi. Tidak semua masalah menyulitkanmu untuk kamu selesaikan. Sesekali larilah dan hindari. Maka Ia akan pergi dengan sendirinya." Kataku mencoba membantunya tetap bertahan diantara duri yang berserak.

   Aku mendapati senyumnya mengembang meski pipinya masih dibanjiri kepiluan. Ia mengangguk dua kali kemudian lenyap menundukkan kepala beberapa saat.

   "Tidak ada yang sulit. Hanya saja aku merasa beban ini tentang kamu. Tentang aku dan kamu. Tentang kita yang selalu menjauh dan tak searah. Pernahkah kamu merasa ada yang salah dengan kita? Aku merasa demikian belakangan ini." Kini, mendengar penuturannya aku yang menghela nafas tak beraturan. Dadaku naik turun menahan gejolak yang ingin kuledakkan. Mataku memanas, memerah karena emosi tak kuasa kutahan sepenuhnya.

   "Apa lagi yang ingin kamu lawan?"

   Ia berhenti menunduk dan membalas tatapanku. Hening menguasai kami lama sekali. Hingga nyamuk nyamuk girang bernyanyi memanfaatkan keterdiaman dari dua makhluk yang saling menatap. Mendalami telaga hitam yang tengah keruh itu, aku tak melihat adanya harapan untuk bertahan hidup dengan baik. Disana hanya ada gelap dan ketakutan.

    "Aku ingin kita berhenti saja. Aku akan keluar dari zona nyaman yang biasa aku arungi. Aku menyerah dan aku berserah pada hari esok yang Tuhan tentukan." Aku tercekat mendengar penuturannya yang terlalu vulgar itu. Aku paham maksudnya sehingga aku diam tak sanggup bereaksi. "Itu yang biasa kamu lakukan, dan itu bukan aku. Maka kali ini aku akan menghadapinya dengan caramu. Jika ... jika saja dipikir ulang. Maka begitu bodohnya aku. Selalu berjuang sementara kamu menghindar. Selalu berusaha meski tahu kamu tidak. Kamu menjauh dan aku mencoba mengejar. Kita memang selalu berlari kearah yang sama. Tapi maksud kita lain."

   "Hei..." Tegurku menangkap kedua sisi wajahmu.

   "Kita sama sama tahu bukan? Aku menyerah karena kamu tak hendak menungguku dengan caramu. Mulai sekarang aku hanya akan berdiam ditempat dan menunggu seseorang yang datang padaku. Bukan mengejar yang jauh menghindariku."

   "Aku tak bisa mengikuti caramu, maaf. Aku tak bisa berbalik dan menghampirimu, maaf. Aku juga tak bisa terus diam menunggu kamu meraihku lagi, maaf. Maaf, jika aku menjadi pengecut memaksamu menjadi milikku tanpa menghadapi setiap resikonya." Aku menahan gejolak untuk menariknya kedalam pelukanku. Menahan jemariku yang gatal ingin menghapus air mata yang semakin deras menghujani wajah manisnya.

   "Aku akan berbalik dan meninggalkanmu kini. Dan aku takkan mencarinya di masa depan. Jikalau kita berjumpa lagi dimasa depan, maka kita adalah dua orang yang tak saling mengenal di masa lalu."

   "Maka jika itu langkahmu sekarang, akupun akan berlalu dan mengambil langkah tanpa ada kamu di belakangku. Seandainya dimasa depan kita bertemu lagi, maka kita tak pernah saling mengenal dimasa lalu."

   Aku dan kamu, adalah Utara dan Selatan yang saling memisahkan diri dan membentangkan jarak 360° saling memunggungi. Dimulai dari hari ini. Dari arah yang kita ambil bersamaan. Saling melalui dan memutuskan kontak mata untuk selamanya.

Jerami MembekuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang