Flashback on.



"Dasar wanita gila! Kau bukan ibuku pelacur!" katanya sambil menendang pintu pagarnya.

"Kasar sekali sih" kataku sambil menatapnya ia sempat tertegun.

Ia pun berjalan kearahku lalu mendekatkan wajahnya "Bukan urusanmu"

"Memang bukan urusanku, tapi apakah perkataanmu tadi tidak terlalu kasar, dia ibumu bukan?" kataku sambil menatapnya berani.

"Cih, ibuku? Ibuku sudah bersama tuhan dan mungkin sekarang aku akan menyusulnya" katanya santai lalu pergi begitu saja

"Hey!" panggilku tetapi ia hanya berjalan menjauh.

Aku pun mengikutinya karena penasaran saja tadinya. Hingga sampai di tempat yang tidak asing.
Sungai Han.

"Mau apa dia?" kataku pelan takut terdengar olehnya.

"Hey, aku tau kau mengikuti dari tadi" katanya tanpa menengok kearahku.

"Aish aku ketahuan ya" kataku sambil menggaruk tengkukku, kenapa ia bisa tau pikirku.

Tiba-tiba ia berdiri di ujung pembatas sungai, dengan santai tanpa rasa takut ia pun mulai menjatuhkan dirinya.


Panik tentu saja. Dengan cepat aku menariknya dengan kekuatanku "Yak! Kau sudah gila eoh?!".

"Kau yang gila! Kenapa kau menghentikanku brengsek!" katanya kesal.

"Aish! Jinjja kau kasar sekali sih, sudah bagus aku menolongmu" enak saja dia mengataiku brengsek.

"Hah, sudah lah kau pulang saja sana! cuci kaki, cuci tangan, lalu tidur" katanya sambil mengejekku.

"Gadis ini benar-benar, sudah lah kau mau kemana sekarang?" tanyaku.

"Suka-suka diriku lah mau kemana, bukan urusanmu" jawabnya, menjengkelkan sekali bukan.

"Baiklah mari berteman gadis kasar, aku Jimin" kataku.

"Aku tidak peduli, pergilah" jawabnya acuh lalu pergi begitu saja.

Semenjak itu aku sering sekali mengikutinya. Dengan diam-diam tentunya. Sebenarnya aku lelah tetapi rasa penasaranku semakin membeludak kepadanya.

Ia begitu berbeda dengan gadis pada umumnya. Berpenampilan urakan, juga sangat kasar tapi aku menyukainya. Bukan, aku mencintainya. Aneh memang.

Hingga suatu ketika aku melihatnya duduk di bawah pohon, kulihat ia sedang meringkuk memeluk kakinya. Dan bahunya bergetar hebat. Tunggu dulu, apa ia menangis?.

Dengan cepat aku mendekatinya, kemudian berdiri di hadapannya.

"Seharusnya aku ikut bersamamu ibu, mereka jahat" tangisnya sambil bergumam.

"Apa aku mati saja? Aku sangat lelah dengan semua ini" aku tertegun dengan pemandangan di depanku. Ia benar-benar menangis.

"Ayah selalu kasar kepadaku, dan ia menikahi perempuan sialan itu sekarang" lanjutnya lagi tangisan nya pecah begitu saja. Aku tidak tahu kehidupannya begitu berat. Mungkin ini lah penyebab kenapa sifatnya begitu kepada semua orang. Ia mencoba menutup diri.

"Ini bukan seperti dirimu kau tahu" kataku pelan dan itu membuatnya kaget.

Dengan cepat ia mengangkat wajahnya lalu mengucek kasar matanya.

"Sejak kapan kau disitu brengsek" katanya, kulihat matanya sangat sembab bekas genangan air mata terlihat di pipinya.

"Sudahlah jangan berpura-pura kuat, aku sudah dengar semuanya" kataku sambil menatapnya.

"Baguslah sekarang kau bisa menjauh dariku bukan" katanya.

"Untuk apa aku menjauhimu" kataku.

"Sudah cukup aku lelah Jimin" katanya sendu.

"Justru seharusnya aku yang lelah, aku selalu ingin menggapai mu, tetapi kau selalu lari dariku" kataku serius. Entah kenapa hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

Lalu ku tarik ia dalam pelukanku "Tolong jangan lari lagi dariku, karna aku tidak akan lelah mengikuti langkahmu kemana pun itu"

Flashback end. 

.

.

.


You're pov. 


Aku tidak mengerti, ia masih tetap di sampingku walupun aku sering membuatnya jengkel. 

Hari ini aku melampiaskan kekesalanku lagi, ya menyayat lenganku.

Ah kalau kalian tau aku seorang self-harm, aku tidak bisa berhenti melukai diriku.

Karena setiap aku mengingat masa lalu ku yang menyedihkan itu, aku selalu saja merasa bersalah akan semuanya.

Aku bukan pembunuh, ibuku mati bukan kesalahanku, itu memang sudah takdir tuhan bukan.

Jika teringat kembali terkadang aku berfikir apakah seharusnya dulu aku ikut mati saja bersama ibuku. Ya, ia mati karena kecelakaan. Kecelakan akibat kedua orangtua ku bertengkar karena ayah berselingkuh dengan wanita sialan itu.

Apakah itu salahku juga? Masa lalu itu masih terngiang di kepalaku hingga saat ini.

Sedang asik dalam perang batinku tiba-tiba sesuatu menepuk kepalaku.

"Jimin" panggilku pelan.

"Mau ke pantai?" katanya sambil tersenyum tampan, tangannya mengelus rambutku pelan.

"Iya" jawabku seadanya.

.
.
.
.

Disinilah kami sekarang, terduduk di pasir putih dengan kaki telanjang. Ombak berdesir kencang, bau khas laut yang menenangkan.

Kupejamkan mataku, menikmati angin sepoi dari laut. Hingga kurasakan tautan di tanganku.
Kubuka mataku perlahan "Indah bukan, kita bisa sering kesini jika kau mau" katanya, aku hanya mengangguk.

Ia menghela nafas pelan "Aku akan melakukan apapun agar kau bisa merasa bahagia, walaupun itu harus dengan nyawaku" katanya pelan.

"Tenang saja aku akan mencari kebahagiaanku sendiri jim" ucapku sambil tersenyum manis, lebih tepatnya miris.

"Jangan beri aku senyuman itu" ucap jimin datar.

"aku hanya mencoba un-"

"Untuk apa repot-repot mencari jika sudah menemukan kebahagiaanmu? kau pasti bisa merasakan kebahagiaan, hanya saja kau selalu membangun benteng tebal untuk dirimu agar kebahagiaan tidak masuk ke dalam hidupmu. Padahal jelas sekali dia berada di sekelilingmu, ada untukmu" katanya lagi, sesungguhnya aku pun tau ia sangat kesal sekarang tetapi ia tetap mencoba tenang.

"Aku tidak apa apa Jim percayalah" aku tetap mencoba tenang walaupun aku sedikit terkejut dengan ucapannya barusan.

"Jangan bohong padaku!" ia mulai geram dengan ucapanku.

"Kau selalu merasa jika kau sendirian kau merasa masih mampu berdiri. Kau terlalu menutup dirimu dan kau biarkan semua orang memandangmu jahat dengan semua pertahanan yang kau buat".

Aku hanya diam menatap lurus kedepan tidak ingin mencoba berdebat dengannya.

"Kenapa? Kenapa kau selalu saja tak mengakuinya? Kenapa kau selalu saja menyembunyikan semua yang kau rasakan. Kau selalu berlagak seolah kau tidak butuh siapapun, seolah kau bisa berdiri dengan kakimu tanpa bantuan orang lain".

"Dan sayangnya kau selalu pintar untuk menutupi itu semua. Tapi aku tau, kau membutuhkan orang-orang yang selalu bertahan di dekatmu dan mampu memberimu perasaan aman dan nyaman untuk membuatmu kuat" lanjutnya.

Aku melihatnya tatapan tulus di matanya, dan saat itu juga aku pun tidak dapat membendung apa yang sedari tadi kutahan dalam diriku, aku menangis sejadi-jadinya dan tidak bisa berkata apapun karena yang jimin katakan semua kenyataan nya adalah benar.

Ia pun menarikku kedalam dekapannya lalu mengelus lembut punggungku, perlahan itu membuat badai di hatiku meredup dan aku mulai berfikir ia lah yang benar-benar mengerti diriku, dan aku harus belajar mencintai diriku sendiri mulai saat ini, dan mungkin mencintai dirinya juga.

"Menangislah, keluarkan semuanya karena mulai saat ini sakitmu adalah sakitku juga. Aku akan selalu di sampingmu, menjaga jiwa berharga ini agar tetap bersinar" ucapannya akan sarat ketulusan yang mendalam bagiku.

"Meskipun tidak sempurna tetapi sangat cantik untukku jaga" ia merenggangkan pelukan kami lalu mengelus lembut wajahku.

Dengan perlahan ia mengangkat daguku, mendekatkan dahi kami. Saat itu juga aku masih sesegukan sehabis menangis.

"Mari lupakan masa lalumu yang kelam itu, karena kita akan membuat lembaran baru bersama" ucapnya, lalu kuberanikan menatap wajahnya. Perpaduan euphoria tuhan yang sangat indah, sinar matahari senja yang menerpa wajahnya dan angin laut yang membuat rambut halus itu berterbangan indah.

'Sangat tampan' batinku.

Aku pun tersenyum lembut kepadanya "Terima kasih telah mengerti diriku, My Penicilium"

Ia tersenyum akan ucapanku tadi "Apapun untukmu My Calico Cat"

Kami pun tertawa bersama karena ucapan kami tadi. Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini dengan seseorang. Tuhan memang baik telah mengirimkan malaikat sebaik dia untukku. Yang mampu menarikku dari dunia yang begitu gelap dan kelam. Scenario Tuhan memang tidak pernah salah hanya cara pandang kita yang perlu di rubah. Terima kasih Tuhan seterusnya aku akan terus bersyukur akan hidup yang aku lalui, bersama Jimin tentunya. 


END.

My PenicilliumWhere stories live. Discover now