Prolog

58 7 0
                                    

Tak ada suara lain di rumah ini selain suara isak dari keluarga yang di tinggalkan, termasuk Ayah, Paman dan Bibi.

Aku belum terlalu mengerti alasan orang-orang sekitarku menangis. Yang aku lihat, karangan bunga yang sedikit banyak membuat rumahku semakin "cantik". Orang-orang berpakaian hitam, lengkap dengan ekspresi sendu di wajah mereka. Aku menatap sebuah peti di tengah ruangan yang katanya berisi ibu lekat-lekat.

Apa ini tempat tidur baru ibu?! Tapi pasti akan panas di dalam.

"Ayah, Ibu akan kepanasan di dalam sana. Dan juga kenapa semua orang sedih sambil menatap ibu? Ayo bangunkan ibu." Ucapku tanpa tau apa-apa.

"..."  Ayah menoleh kearahku. Ku lihat matanya sudah mulai bengkak karena terus-terusan menangis dari tadi.

"Mengapa semua orang menangis?"

Hening. Tak ada jawaban untuk sesaat. Beberapa orang yang mendengarku hanya menoleh dengan tatapan penuh iba, dilanjut isakan pelan lainnya.

"Ibu- hiiikkss" Ayah belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dia mulai menangis keras lagi.

"Laura, Ibu sekarang tidur nyenyak, hiks. Tidak boleh di ganggu, hiks." Bibi menjawab dengan isakan disetiap kalimatnya.

"Kapan Ibu akan bangun?"

"Laura, dengarkan Ayah." Ucapnya dengan tiba-tiba mengarahkan tubuhku agar berhadapan dengannya. "Ibu tidak akan bangun sampai kapan pun. Ibu–" Ayah berusaha mengatur napasnya. "Ibu sudah meninggal. Ibu tidak akan ada lagi bersama kita. Ibu sudah tiada dan tidak akan pernah lagi kembali."

Aku melebarkan mataku mendengar perkataan Ayah barusan. Aku terkejut sekaligus tidak mengerti.
Ibu akan pergi selamanya!! Apa maksudnya ini?! Kenapa Ibu tiba-tiba pergi? Ibu tidak akan meninggalkanku sendiri. Dia pernah janji padaku.

Kini kami berada di pemakaman Ibu. Sebagian orang telah pergi meninggalkan pemakaman ini. Aku melihat sekeliling dan mendapati sekumpulan orang di sisi lain makam yang sama malangnya dengan kami. Kehilangan.

Tak jauh dari kuburan Ibu, aku melihat seorang anak laki-laki yang mungkin seumuran denganku berdiri tegak menghadap makam Ibu. Mata kami bertemu dan bertatapan beberapa detik. Mata yang indah! Matanya berwarna emas yang sedikit kecoklatan, kontras dengan bibir tipis merah muda. Dia bahkan terlihat manis.

Aku tak tau, setelah beberapa detik berikutnya saat aku tak lagi melihatnya, bocah itu menghilang. Aku tak begitu memperhatikan arah perginya, atau mungkin dia memang menghilang–berteleportasi?

*

Selang beberapa bulan, kini aku mengerti maksud Ayah. Tak ada yang perlu ku sesali. Bocah berumur 5 tahun seperti ku harus mandiri tanpa bantuan siapa pun.

Ibu benar-benar p e r g i . . .

ChoosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang