Secercah cahaya dari seorang pemuda

23 5 1
                                    

Ardi menangis tersedu-sedu. Nampak sekali, kemarahan dan kesedihannya menjadi satu. Ardan mewajarkan hal itu. Begitu pula Atik. Dari awal pemuda itu menelpon Ardan, Ardan sudah mengira bahwa seorang yang mati disini adalah seorang yang amat berarti untuknya.

"Tenang, kasus yang kutangani selalu tuntas!" Ucap Ardan, menenangkan Ardi.

Tak lama berselang, Reon, mentor sekaligus penghubung Ardan dengan kepolisian datang. Ia lalu memasang garis polisi serta mengumpulkan semua saksi.

Atik berkeliling TKP. Nampak piring-piring yang seharusnya sudah berisi cake ulang tahun masih berbaris rapi. Serta pisau, garpu, dan tisue yang juga masih belum tersentuh siapapun.

Matanya mendapati sebuah piring, sisa cake, serta sendok jatuh tidak jauh dimana tubuh Kartika terjatuh.

"Pelaku yang paling mungkin adalah Agung dan Rio!" Seru Ardi ditengah tangisan dan amarahnya. Sontak Ardan membalas "kenapa? Dalam situasi seperti ini, kau juga bisa dicurigai!"

"Dengar, Agung tadi kesal, marah-marah karena perlakuan Suseno seenaknya padanya. Ia bisa saja menaruh racun di kue itu!" Ucap Ardi. Sebelum ia melanjutkan "sementara Rio, ia memberi kan sebuah hadiah berupa nasi goreng buatannya sendiri. Apa kau tidak mencurigai itu, detektif?!"

"Mari kita mengerucutkan dugaanmu. Rio bukan pelakunya, kenapa? Karena Suseno tidak ikut memakan nasi goreng itu! Dan jika racun ada di makanan itu, maka yang tewas cuma orang yang kau kagumi saja!" Balas Ardan. Jujur saja, ia tidak suka pada orang so tau.

"Apanya, aku memang kesal pada orang itu, tapi, aku masih beradab. Aku tidak mau membunuh! Apalagi bayaran yang ia beri melebihi gaji pokok ku! Lagi pula, aku mencicipi kue itu, dan aku masih berdiri sehat disini." Ucap Agung, mengetahui namanya disebut-sebut tadi.

"Ehem..." Atik mengalihkan semua perhatian orang yang ada disana padanya. "Kukira, memakan sebuah cake akan lebih mudah dengan garpu." Ucapnya.

"Tentu."

"Tapi, kulihat, yang jatuh disana itu sendok." Atik menunjuk ke arah sendok. Benar juga. Bagaimana mungkin petugas cathering lalai dan memberikan satu sendok sementara yang lainnya garpu?

"Kurasa kau tau sesuatu." Balas Ardan, tersenyum. Begitu pula Reon.

"Kurasa, pembunuhnya adalah orang yang memberi sendok ini." Atik memakai sarung tangan, mengambil sendok itu lalu memasukannya pada plastik. "Mungkin, bagusnya sih sendok ini diperiksa. Bisa saja ada sianida nya."

"Mari kusimpulkan sesuatu." Ucap Ardan. "Dari cerita yang tadi diceritakan Ardi saat aku datang, maka kusimpulkan, pelakunya adalah Lusi!"

"Enak saja, bagaimana bisa kau menuduhku, aku anak nya sendiri, mana mungkin aku membunuhnya!" Bantah Lusi. Ia baru sadar dan kini dituduh. Kasian Lusi.

"Hahaha, benar. Kulihat juga tas kecilmu itu kosong. Hanya ada plastik kosong yang sedikit berair."

"Kalaupun aku pelakunya, alasan aku melakukannya apa? Jangan mengada-ada!" Bantah Lusi kembali.

"Isu bahwa keluarga Suseno memperlakukan anak keduanya dengan tidak baik itu, benar ya? Kartika datang dengan mobil mewah sementara kau hanya dengan mobil sejuta umat. Jadi, kau iri dengan kakakmu atau dendam pada ayahmu?" Pancing Ardan

"Terlebih lagi, jika ayah dan kakakmu mati, kau bisa menguasai harta dan aset keluarga Suseno. Haha, hebat." Timpal Atik, bertepuk tangan dengan gestur meledek.

Lusi tidak menjawab, ia malah histeris dan menangis menjadi-jadi. "YA! AKU MELAKUKANNYA! KAU KIRA HIDUP 19 TAHUN DALAM KETIDAK ADILAN ITU ENAK? HAHAHA MAMPUS KAU BAPAK BIADAB DAN KAKAK HINA!" Serunya.

"Baiklah, ambil tas nya dan periksa." Ucap Reon sambil mengamankan tas Lusi. "Dan kau, ikut dengan kami." Reon lalu pergi, membawa Lusi bersamanya.

"Beruntung sekali, aku hampir tidak menyadari bahwa alat makan lain yang digunakan adalah garpu." Ucap Ardan.

"I-ini, apa ini kenyataan? Jadi ... Kartika dibunuh adiknya sendiri?!" Ardi masih tidak bisa menerima kenyataan. Ardan mewajarkan, sementara Atik mulai kasihan dengan kesehatan mental teman lama nya itu.

"Kematian, itu sudah dicatat, bahkan sebelum kita lahir. Baik itu dibunuh, tertabrak, atau karena sakit, itu sudah menjadi takdir. Melepaskan adalah hal yang paling bijak, yang dapat kau lakukan, Di." Balas Atik seraya mengusap-usap punggung Ardi.

Sekarang, yang bisa Atik dan Ardan lakukan hanyalah menjaga dan memastikan teman mereka itu tidak melakukan hal yang macam-macam.

----

Epilog

Aku berdiri disini, di makam orang yang sangat-sangat ku kagumi dan cintai. Kartika Sintia Suseno. Serta ayahnya. Aku hanya bisa berdoa, semoga amal dan ibadah mereka diterima di sisiNYA.

Aku kehilangan gairah hidupku sejak saat itu. Memang, aku belum sempat memilikinya. Tapi aku sangat bersyukur pernah kenal dengannya. Dan sangat sedih saat kehilangan dirinya. Ya, aku merasakan kehilangan. Kehilangan seseorang yang bahkan bukan miliku. Ah betapa bodohnya aku.

Aku membeli tambang itu diperjalanan pulang tadi. Mengaitkan salah satu ujungnya di langit-langit tertinggi di rumah ini. Lalu membuat sebuah lobang untuk tumpuan leherku nanti. Aku akan bunuh diri.

Karena aku pergi dan tak dirindukan. Dan datang, tanpa diharapkan. Kisah hidupku pilu. Selamat tinggal, aku senang, aku akan meninggalkan dunia penuh kepalauan ini.

ARSIP NO 1 COMPLETED~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arsip : Pesta Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang