Sesuatu yang di inginkan, Terkadang berbeda dari yang di Bayangkan.

1.9K 18 3
                                    

Mungkin itu yang aku rasakan saat ini. Bingung. Entah pilihan yang mana yang harus ku pilih. Kemarin malam ibu datang ke kamar ku dan berkata di iringi isakan tangis 

"Jo maafkan ibu." Kata Ibu

Aku yang tak mengerti mengapa ibu tiba-tiba berkata seperti itu, bertanya kepada Ibu 

"Ada apa bu?, Ibu tidak melakukan kesalahan pun dan tidak sepantasnya ibu meminta maaf kepada Jojo." Jawab ku.

Enam bulan yang lalu Bapak berpulang kepangkuan-Nya, sejak saat itu kebutuhan ekonomi keluarga semakin menipis. Ibu yang juga sedang sakit memaksakan kesehatannya untuk terus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Aku yang masih berumur 11 tahun tidak tahu harus berbuat apa, yang ku tahu, aku harus membantu Ibu.

"Jo, apakah Jojo rela putus sekolah untuk membantu Ibu bekerja?" Tanya Ibu dengan isakan tangisnya.

 Aku sudah paham maksud pembicaraan Ibu sekarang, Pertanyaan yang selalu siap untuk aku jawab walaupun jawabanku pahit. 

"Iya. Jojo siap Bu. Jojo mau membantu Ibu." Jawab ku meyakinkan Ibu. 

Ibu kembali berurai air mata, "Terimakasih Jo, kamu adalah satu-satunya anak Ibu yang bisa diandalkan. Kelak, nanti ketika kamu sudah besar, kamu akan menjadi seseorang yang besar."

Esok paginya, ketika aku hendak pergi ke sekolah. Ibu memandangku dengan tatapan kesedihan. Tatapan yang berat untuk melihat anaknya putus sekolah dan mengubur cita-citanya yang selalu dia impikan.

"Jo, apa Jojo yakin dengan keputusan Jojo?" Tanya Ibu meyakinkan.

"Tentu Bu. Jojo sangat yakin" Jawabku meyakinkan Ibu. Jawaban yang sebenarnya berat sekali untuk aku jawab tetapi harus aku jawab demi membantu Ibu dan menyekolahkan
Wulandari.

-----


Aku terlambat datang ke sekolah, sudah sering terjadi. Karna memang jarak rumah ku ke sekolah memang lumayan jauh. Harus melewati jembatan bobrok dulu baru aku menemukan jalanan yang luas agar aku dapat mengayuh sepeda dengan cepat.

Saat sampai di sekolah, pelajaran pertama sudah mulai. Bu Hani yang merupakan guru Bahasa Indonesia terlihat sedang mengajar di balik jendela kelas. Pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang sangat aku sukai. Aku suka membaca buku, aku suka membuat puisi, maka dari itu aku menyukai pelajaran ini.

"Maaf bu, saya terlambat lagi." Kata ku pada Bu Hani.

"Ini sudah kesekian kalinya kamu terlambat Jo." Jawab ketus Bu Hani.

"Iya bu, saya minta maaf, mulai besok saya tidak akan terlambat lagi." Jawab ku dengan nada sedikit sedih, yang mungkin Bu Hani sendiri akan ikut sedih jika mengetahui yang sebenarnya.

"Yasudah, silahkan duduk di mejamu." Jawab Bu Hani.

Bu Hani adalah guru yang paling perhatian kepada ku. Sering sekali Bu Hani memberiku bungkus nasi saat jam istirahat tiba. Aku yakin beliau sangat memahamiku. Dan beliau akan sangat terpukul ketika mengetahui jika aku tidak akan lagi meneruskan sekolahku.

"Anak-anak, materi pelajaran kita hari ini adalah tentang Keterampilan Membuat Puisi."
"Apakah ada dari kalian yang mampu membuat puisi?" Tanya Bu Hani berharap ada muridnya yang meng-iya kan.

"Saya bu" Jawabku sambil mengacungkan jari telunjuk.

"Oh kamu bisa Jo? Bisa tolong bacakan puisi buatan mu itu?"

"Saya belum pandai untuk membuat sebuah puisi. Tapi jika diperbolehkan saya akan mengambil puisi karya Wiji Thukul." 

"Anak seusia mu  tahu Wiji Thukul? Hebat! Bacakan saja Jo, tidak apa." Jawaban Bu Hani sangat antusias. Dia seperti tidak percaya kalau aku memang tahu Wiji Thukul.

"Saya akan membacakannya Bu. Ini adalah salah satu puisi yang sangat saya suka. Judul nya Puisi Untuk Adik."

Puisi Untuk Adik   

Apakah nasib kita akan terus seperti
Sepeda rongsokan karatan itu?
O... tidak, dik!
Kita akan terus melawan
Waktu yang bijak bestari
Kan sudah mengajari kita

Bagaimana menghadapi derita
Kitalah yang akan memberi senyum
Kepada masa depan
Jangan menyerahkan diri kepada ketakutan

Kita akan terus bergulat
Apakah nasib kita akan terus seperti
Sepeda rongsokan itu?
O... tidak, dik!
Kita harus membaca lagi
Agar bisa menuliskan isi kepala
Dan memahami dunia.

(Wiji Thukul )

Teman-teman sekelasku langsung bertepuk tangan ketika aku selesai membacakan puisi itu. Ada rasa haru didalam hatiku. Ingin rasanya mengurai air mata. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Aku hanya ingin membenamkan kesedihan ini didalam diriku saja tanpa harus ada orang lain yang mengetahuinya.

"Indah! Caramu membaca puisi sangatlah indah Jojo. Kamu berbakat." Kata Bu Hani terkagum.

"Terimakasih Bu, Terimakasih teman teman". Jawab ku dengan senyum tipis di bibirku.

Bel tanda istirahat berbunyi. Sebelum pergi sekolah tadi, Ibu membekaliku singkong yang sudah dimasak untuk mengganjal perut ketika lapar. Bekal makanan ku tidak seperti kawan yang lain. Mereka ada yang dibekali nasi goreng, kentang, sosis, dan lainnya. Aku kadang minder melihatnya, tapi aku sadar, aku berbeda dengan mereka. Aku harus bersyukur dengan makanan yang Ibu beri. Karna bersyukur adalah salah satu caraku berterimaksih kepada Tuhan.

:
:
:
:
:
:
:
Jika kalian sudah membaca, tolong berikan komentar kalian untuk memotivasi saya. Komentar kalian tidak harus positif. Komentar negatif pun tak apa. Terimakasih.

Sebuah Cita Di Balik Gubuk DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang