5. Baper dan Hati

243 44 4
                                    

Ketika aku merebahkan diri di kasur setelah pulang dari rumah Kak Arja, telepon yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Notifikasi dari Kak Arja. Bukannya aku punya kemampuan cleirvoyance atau cenayang, aku bisa menebaknya karena nada notifikasi dari dia memang kukhususkan berbeda sendiri. Jadi dengan begitu aku tidak perlu repot-repot mengangkat telfon atau membalas pesannya karena aku memang sengaja tidak mau.

Teringat dengan Kak Arja dan segala isinya, aku langsung bangkit dari kasur lalu beranjak menuju meja belajar dan membuka lacinya. Kukeluarkan botol pil dari sana. Sudah sekian lama aku tidak lagi mengkonsumsinya karena serangan panic attack itu sudah lama tidak muncul lagi. Dan sekarang, setelah bertemu kembali dengan dewa kematian, aku harus membawanya kemana-mana lagi.

Tapi sadar isi dalam botol itu hanya tinggal sedikit, aku memutuskan membelinya lagi di apotik besok.

Ponsel di atas nakas lagi-lagi berdering, tapi kali ini bukan dari Kak Arja. Kuletakkan lagi botol pil itu dalam laci lalu bergerak mengangkat panggilan. Dari Devina.

"Halo Vin?" sapaku lebih dulu.

"Raras lo tau nggak?" tanya Devina semangat.

"Enggak," jawabku datar.

"Bodoamat. Asal lo tau Ras, kita kepilih jadi anggota tim debat!"

Aku membulatkan mata, "hah, serius? Yang bener aja, kita daftar jadi tim debat kan udah satu bulan yang lalu."

Kudengar di sana Devina berdecak. "Enggak tau deh pokoknya, orang gue baru aja dikabarin sama panitia pendaftarannya dulu."

"Terus kita disuruh ngapain?" tanyaku. Dulu, aku dan Devina memang suka adu mulut atau berargumen mengenai suatu hal, jadi waktu pihak sekolah mewajibkan satu ekstrakulikuler, kami memilih jadi tim debat. Ah, pilihan yang spontan menurutku, mengingat sekarang aku tahu orang yang lebih mahir dariku dan Devina mencecar orang, Kak Arja.

"Minggu depan ada seleksi tim inti buat jadi wakil sekolah untuk lomba debat. Kita disuruh nyiapin diri."

Aku hanya diam sambil mengangguk.

"Ih kok diem sih Ras? Semangat dong!" ujar Devina menyemangatiku.

"Enggak ah, gue mau biasa aja. Pesimis lolos nih sejak sering ribut sama Arja. Lagian gue tuh sebenernya nggak suka adu mulut," kataku sambil mendaratkan pantat ke ranjang tidur.

"Hm i see. Tu orang emang pedes sih, telak. Omongannya yang waktu itu aja masih kebayang-bayang nyelekitnya."

Aku tersenyum ketika mengingat kejadian Devina dan Kak Arja di Kopi Bar waktu lalu. "Lupain aja kali Vin, tu orang palingan juga udah lupa," ujarku.

"Diusahain!" jawab Devina singkat dengan nada melas yang seketika membuatku terkikik. "Hey, malah ketawa!" sungutnya. "Kan lo tau Ras. Hal yang paling mempengaruhi diri seseorang menurut Devina adalah perkataan." Gadis itu terdiam sejenak lalu terdengar suara hembusan napas panjang. "Hati gue itu sensitif Ras, gampang baper. Semua perkataan yang ditujukan ke gue itu semuanya langsung masuk ke hati. Mau itu pujian atau kritikan pedes kaya Kak Arja waktu itu, semuanya berpengaruh ke pikiran gue." jelas sahabatku panjang. Aku jadi merasa bersalah pada Devina. Ternyata karena kata-kata Kak Arja waktu itu, pikiran Devina jadi terbebani.

"Atas nama Arja gue minta maaf ya Vin?" pintaku.

Devina tertawa pelan. "Apa sih Ras, bukan salah lo kali. Kak Arja juga sebenernya nggak sepenuhnya salah sih. Cuma gue aja yang kurang introspeksi diri."

Dimensi Kupu-KupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang