Us

18 0 0
                                    

JIka saja kata maaf dapat menghilangkan seluruh sakit dan luka.. Iya, hanya berandai-andai. 

Malam itu, tepatnya di taman kecil belakang rumah si kembar, dengan ditemani dua gelas es jeruk, kedua sahabat yang telah lama berteman sedang asik berbincang sembari duduk di gazebo di tengah taman tersebut. 

"Gimana lo sama Natasya?  Lancar gak?" 

"Hah? Tetiba lo nanya kayak gitu, kaget gue."

"Yaelah, lebay lo. So? Gimana?"

"Ya gitu. Gue kayaknya nggak mau nembak dulu deh Ver, biarin berjalan kayak gini aja. Terkadang, hubungan tanpa status yang kayak gue jalanin lebih asik daripada ada status."

"Alah gaya lo, enggak takut dia diambil orang lain?"

"Kalau dia diambil orang lain, berarti dia nggak terlalu sayang gue, kan? Karna yang mutusin untuk jalanin dulu kayak gini kan kita berdua. Kesepakatan bersama. Jadi, ya kalau emang nantinya dia mendua. Yaudah. Lagian, gue nggak bisa jadian diatas penderitaan orang lain." Ucap Ethan sembari melihat kearah Vera. 

"Hah? Eh apa lo liat-liat gue? Menderita? Sialan lo, gue bahagia gini."

"Emang luka lo udah sembuh?"

"Gue nggak jatoh kok."

"You know what I mean, Ra."

"Ck. Menurut lo? Kalau aja kata maaf bisa ilangin luka gue, sekarang udah sembuh gue dari masa lalu." 

"Mereka, gimana ya?"

*****

"Mereka, gimana ya?"

Aku mendengar Ethan menanyakan hal itu.  Iya, aku mendengarnya. Sangat jelas.  Akan tetapi, rupanya aku sedang tidak ingin membahasnya. Jadi aku hanya menggelengkan kepalaku dan mengedikkan bahuku. Tidak mau tahu. 

Tiba-tiba aku merasakan tepukan hangat di atas kepalaku, sontak aku berbalik melihat siapa pelakunya. 

"Ck,  Varo,  gua bukan anak kecil lagi." Aku merenggut, namun tak dipungkiri aku menyukai tepukan hangat itu. 

"Makan sana, tar maag lo kambuh gua ogah rawatnya." Katanya terdengar malas tapi tulus. 

Tanpa banyak berkata, aku pun langsung pergi meninggalkan Alvaro dan Ethan. 

Menghela napas, berusaha tidak peduli apa yang akan mereka katakan, walau aku yakin mereka akan membicarakan aku. 

*****

Sesaat setelah Alvera pergi, Alvaro menggantikan adiknya duduk di sebelah Ethan. 

"Bahas 'itu' lagi? Dia udh beku Than, susah," kata Varo sembari menghela napas. 

"Setidaknya gua mencoba. Setidaknya gua ga mengulangi kesalahan lama, Ro. Lo tau betapa menyesalnya gue sejak itu, kan?" terawang Ethan kedepan. 

"Me too,  Than. Dia adik gue."

Lagi.  Mereka berdua bersamaan menghela napas mereka, menyesal.

"Gua sadar Ro, ternyata, apa yang baik bagi kita, belum tentu baik untuk orang lain, khususnya Vera. Entah apa yang kita lakukan kemarin memang untuk Vera, atau malah sebenarnya kita cuma bentuk tameng tak kasat mata untuk melindungi diri kita sendiri," renung Ethan.

"Dan setelah kita sadar, ternyata Vera udah berjalan jauh di depan kita, Than," tambah Varo. 

"So,  lo bedua mau tetap di situ sampe malaikat maut menjemput,  atau ke dalem buat makan? Ya gue sih bisa berbaik hati ngunciin lo bedua di sini kalau mau" celetuk Vera tiba-tiba yang ternyata sudah berdiri di depan pintu pembatas, berkacak pinggang,  menatap garang.

"Ck,  ga seru lo dek/nek." Cibir Varo dan Ethan bersamaan sembari bangkit dan masuk kembali kedalam rumah. 

Tanpa mereka sadari, Vera mendengar semua percakapan mereka, sengaja atau tidak.  Oh, tidak tidak, Vera tidak menghakimi mereka. Hanya saja, ia memilih diam, dengan tatapan lurus ke depan, berbisik,

"It's too late, I think?"

Menghela napas, Vera pergi menyusul kedua orang terpenting di hidupnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Different SidesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang