Prolog

47 11 1
                                    

Namaku Daiva Fukine Leia. Dalam hitungan hari, usiaku genap 17 tahun. Aku dilahirkan dan dibesarkan dengan orang yang berbeda. Secara harfiah aku dilahirkan oleh ibuku. Tapi aku dibesarkan oleh pembantu. Orang tuaku masih hidup dan tinggal seatap denganku. Keberadaan mereka seperti angin. Ada hanya sesaat.

Aku bahkan tak tahu pekerjaan mereka. Yang aku tahu, uang selalu mengalir di kehidupanku. Apapun yang kupinta–dalam bentuk materi–selalu terpenuhi. Seharusnya aku bahagia punya orang tua sukses seperti mereka. Tapi kenyataannya berkata "Tidak". Bukannya aku nggak bersyukur. Aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuaku dengan uang, bukan dengan kasih sayang.

Tak pernah mereka memperlihatkan tatapan bangga setelah aku mendapatkan pencapaian yang luar biasa atas usahaku sendiri. Memang kalimat support terlontar. Tapi percuma kalau ngga tulus.

Waktu SD, aku selalu masuk 3 besar dari kelas 1-5. Bukannya sombong. Aku hanya ingin berbagi kepedihan. Biasanya, murid yang juara kelas di SD-ku selalu mendapatkan tropi. Sebagai bentuk apresiasi katanya. Benda itu kuperlihatkan kepada ibu. Apa yang terjadi? Dia cuma bilang, "Hm, bagus itu. Ngga sia-sia ibu sekolahin Leia. Pertahankan itu, ya." Tanpa ada senyum. Melihat pun tidak.

Saat itu aku masih polos dan memiliki prinsip "Yang penting dapat pujian dari ibu, aku sudah senang."

Habis dipuji, aku minta pergi ke taman sama mereka. Apa jawaban mereka?

"Duh, Leia sama ayah aja, ya? Ibu sore ini ngga bisa."

"Gimana, ya? Leia sama nenek aja. Ayah ada meeting sama clien. Ayah telponin nenek, ya?"

Saat itu aku masih positive thinking bahwa mereka sibuk untuk masa depanku. Tapi semakin aku besar, aku mulai merasa bahwa mereka sama sekali ngga sayang sama aku. Akhirnya aku mulai menyerah berharap kasih sayang dari mereka.

Pada saat kenaikan kelas enam, aku melakukan hal yang sama. Dan hasilnya juga sama, bahkan lebih parah. No respon from they. Bodohnya aku, sudah tau dicuekin, masih aja dikejar. Hasilnya? Direspon memang. Baik malah. Tapi permintaan yang sama tetap ditolak. Alasannya ngga bisa. Aku berpikir: apa mereka sesibuk itu sampai meluangkan waktu untuk bersenang-senang saja tak bisa?

Karena ibu menawarkan hadiah–dalam bentuk barang–aku memilih jam tangan. Tentu ada maksud dari pilihanku itu. Aku mau ibu peka dan meluangkan waktunya untuk. Nyatanya, ibu masih ngga peka dengan kode itu. Yah, daripada masalahnya diperpanjang. Lebih baik segera disudahi. Entah sampai kapan seperti ini.


To be continued

The SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang