Tanah di Negara itu kian lama makin membara.
Tak ada kedamaian, isak tangis ada di mana mana.
Warnanya tak polos coklat, rumput-rumputnya banyak yang hangus dibakar juga ditumpahi cairan kental darah.
Pagi, hingga malam, peperangan itu tak juga selesai.
Peperangan dua kubu bertentangan dari sebuah klan, yang nyatanya adalah saudara seketurunan.
Orang itu maju dengan gagah membawa tombak kegelapannya.
“Aku membencimu Sardi!!, kenapa harus kau yang jadi penerus kekuasaan ayah?!, kenapa tidak aku saja!”, teriak orang itu, yang lalu melempar tombaknya ke arah orang yang dipanggilnya ‘Sardi’.
Sardi mengelak, menangkis pedang itu dengan perisai tanah miiknya. Perisainya terbelah, dia kemudian menghindar secepat cahaya.
”Kembali!!, jangan menghindar pengecut!!!”, dia kemudian menebarkan asap hitam ke setiap arena pertarungan.
Sardi berhenti, dia berdiri menatap ke arah orang itu, “Kalau kau mau, ambil saja kekuasaan itu…., Agus adikku!”, ucap Sardi datar.
Merasa dihina, Agus maju, dia secepat kilat melambatkan waktu di sekelilingnya, tangannya mencengkeram bola asap hitam yang dia arahkan kepada Sardi.
“Sialan kau!!”, Sardi tetap tenang, tak sedikitpun mencoba menghindar, dia kemudian menciptakan pusaran angin kencang menyelubungi dirinya.
Pusaran itu cukup kuat, membuat Agus yang mendekat jadi terpental jauh.
“Aurghh….”, ringkik Agus menyeringai kecil.
Sardi yang masih tetap tenang maju, dia mengacungkan pedang platina yang bersinar terang ke arah mata Agus. Agus terbelalak, sepertinya Sardi akan membunuhnya.
“Selama ini, aku sudah banyak bersabar karena memiliki adik sepertimu, tapi apa karena kekuasaan ayah kau jadi memusuhiku?, dan apakah aku harus bersabar lagi untuk menghadapimu?!, jika begini lebih baik ku bunuh kau saja Agus!!”.
Nafas Agus mulai terengah-engah, dia setengah mati tak percaya, bahwa yang di depannya adalah kakaknya. Setahu dirinya, selama ini Sardi adalah orang yang lembut, yang selalu menghiburnya juga melindunginya, tapi sekarang,
‘Apa dia kakakku?, kakakku yang selalu tersenyum padaku?’.
Sardi mulai mengayunkan pedangnya, membuat jantung Agus tambah berdekup kencang, mungkin ini akhir hidupnya, dibunuh kakaknya sendiri.
Tapi hal yang tak diduga selanjutnya terjadi, Sardi malah melempar pedangnya jauh, dia tak jadi membunuh adiknya. “Ke….kenapa kau… tak membunuhku….., kakak?”, gugup Agus benar- benar tak percaya.
“Percuma, bagaimanapun aku jahat padamu, aku tak bisa membunuhmu, karena kau tahu, aku ini kakakmu, yang selalu menyayangi adik kecilnya bagaimanapun kelakuannya, walaupun kau berniat membunuhku sekalipun, aku tetap menyayangimu, karena aku…. Kakakmu”,
Sardi berpaling, dia berjalan beberapa langkah menjauh dari Agus yang masih tersungkur.
“Kakak….”.
“Sudah jangan basa basi lagi, katakan saja apa maumu Gus, kalau kau mau aku pergi dan menyerahkan hak kekuasaan Ayah kepadamu….., silahkan…. Ambilah, ambil kekuasaan yang membuatmu ingin membunuhku itu. Aku hanya bisa mengalah dengan adikku”.
Agus masih terbelalak, dia lagi-lagi tak percaya dengan yang dikatakan kakaknya itu.
Kakaknya selama ini banyak mengalah padanya, mengalah untuk memenuhi kemauan-kemauan serakah dirinya.
Dan mungkin yang ini, adalah titik puncak dari semuanya, Sardi terlalu sering mengalah, dia bahkan memberikan kekuasannya itu pada adiknya.
Namun lagi-lagi keserakahan merasuki pikiran Agus. Walaupun kakaknya itu sudah menyerah, bahkan bersedia menyerahkan kekuasaannya, tapi tetap saja,
‘Sampai kapanpun, selama dia masih hidup, dia bisa menyaingiku, dia bisa mengalahkanku!’.
Agus diam-diam bangkit, berlari mengambil pedang platina yang tadi dibuang, dan segera mengejar Sardi.
Merasa diancam, Sardi segera menoleh, namun terlambat, pedang itu menembus dadanya.
Matanya melotot, darah memancar deras dari dadanya, juga memenuhi mulutnya yang makin merah.
Melihat itu, Agus tersenyum puas, dia sudah membunuh kakaknya sendiri.
Dengan mulutnya yang dipenuhi darah, Sardi masih bisa bicara,
“Apa, kau ku kurang puas, de… dengan kekuasa an itu, s sa sampai kau ma si sih mengi..nginkan nya waku”.
Tak lama Sardi terbaring lemas, dengan pedang masih menancap di dada, matanya terpejam, dia mati dibunuh adiknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle of CLAN
Fantasy"Selama ini, aku sudah banyak bersabar karena memiliki adik sepertimu, tapi apa karena kekuasaan ayah kau jadi memusuhiku?, dan apakah aku harus bersabar lagi untuk menghadapimu?!, jika begini lebih baik ku bunuh kau saja Agus!!" Genre: Fantasy Acti...