Hari itu untuk pertama kalinya dia membuka mata setelah mengalami koma. Aku tersenyum bahagia karena akhirnya aku bisa menatap mata yang meneduhkan itu. Dia tersenyum menatapku. Memulai pembicaraan yang hangat. Menanyakan banyak pertanyaan yang salah satunya menanyakan tentang keadaan suaminya. Wanita itu yang tak lain adalah ibuku, bahkan mengkhawatirkan keadaan suaminya yang bahkan tidak perduli dengan keadaannya. Suaminya yang juga tentu adalah ayahku bahkan tidak ada disampingnya saat dia sadar. Aku tidak suka jika sekarang dia menanyakan keadaan pria itu.
Perbincangan yang hangat berubah menjadi percecokan kecil. Amarahku keluar begitu saja. Ini bukan kesalahannya, wajar jika dia menanyakan keadaan suaminya. Akulah yang tidak suka jika sekarang ini dia bertanya mengenai hal itu. Tidak suka dengan pertanyaan itu, aku memutuskan untuk keluar meninggalkannya. Dia berusaha mencegahku tapi aku tidak memperdulikannya. Melangkahkan kakiku untuk keluar kamar. Tapi belum sempat langkah itu menjauh darinya, aku mendengar ringisan sakit dan disertai dengan bunyi tubuh yang terbentur dengan lantai. Aku menoleh dan mendapati wanita yang sangat aku sayang itu sudah tergeletak dilantai. Langkah ku yang seketika menjadi goyah kembali menghampirinya. Kecemasan sudah sepenuhnya menguasai tubuhku. Mendudukkan diriku kehadapannya, dan membawa kepalanya kedalam pangkuanku. Aku tidak tau apa yang terjadi kepadanya. Dokter pribadi yang menanganinya juga sudah pulang beberapa jam yang lalu. Yang terlintas dikepalaku sekarang hanyalah untuk menghubungi pria itu. Tapi semua percuma. Pria itu bahkan tidak perduli dengan apa yang aku katakan saat aku menghubunginya. Dia bahkan menyuruhku untuk memanggil supir untuk mengantarkannya kerumah sakit. Dia lebih memilih pertemuan dengan seorang investor ketimbang menemui istrinya yang entah bagaimana keadaannya sekarang.
Sesampai dirumah sakit dokter langsung mengecek keadaannya. Aku bisa melihat gelengan kepala dokter itu keseorang perawat yang berada dihadapannya. Pikiran buruk lantas memenuhi kepalaku. Dokter itu menghampiriku dan memegang pundakku menguatkan. Aku mengerti apa maksudnya, tapi aku memilih untuk berpura-pura tak mengerti. Lebih tepatnya tidak mau menerima apa yang akan dokter itu katakan.
Penjelasan dokter itu membuat hatiku seperti ditusuk ribuan anak panah, sangat sakit. Aku menarik kerah dokter itu, bagaimana bisa dia mengatakan kalau orang yang sangat aku sayang itu sudah pergi untuk selama-lamanya, akibat pecahnya pembuluh darah diperut karena kecelakaan yang dialaminya waktu itu yang membuatnya sempat koma. Aku tidak bisa menerimanya, ini hanya mimpi, ini tidaklah nyata. Tapi lagi-lagi suara supirku yang mengatakan kalau aku harus ikhlas dan kuat membuat semua yang ingin aku anggap mimpi buruk ini berubah menjadi nyata. Seketika air mataku jatuh tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadaku.
Aku melepaskan tanganku dari kerah dokter itu. Berbalik menghadap kearah wanita yang sangat aku sayang itu, yang sekarang sudah terbujur kaku. Aku menghampirinya. Tanganku terangkat untuk menggenggam tangannya yang sekarang sudah sedingin es. Aku menyesal, menyalahkan diri sendiri atas kematiannya, meski ku tahu penyebab kematiannya adalah pecahnya pembuluh darah. Tapi tetap saja aku merasa kalau semua ini adalah kesalahanku. Andai saja aku tidak berniat untuk meninggalkannya keluar dari kamarnya tadi, mungkin aku sekarang masih bisa menatap matanya yang meneduhkan itu. Tapi semua hanya tinggal andai. Faktanya dia sudah pergi untuk selamanya. Semua yang kukatakan tidak akan bisa membawanya kembali. Sekarang aku hanya bisa memeluk tubuhnya yang sangat dingin itu, tidak ada lagi kehangatan disana.
Air mataku terus mengalir seakan ingin melengkapi kesedihan yang sangat dalam ini. Aku terus memeluk tubuhnya, hingga aku merasakan ada tangan yang memegang pundakku. Aku melepaskan peluk'kan itu dan menoleh kesipemilik tangan. Air mataku yang tadinya terus mengalir sekarang berhenti seketika saat pemilik tangan itu yang tak lain adalah orang yang kutelepon tadi. Bagaimana bisa dia datang disaat semuanya sudah terlambat. Suami macam apa yang lebih memilih untuk menemui seorang investor ketimbang menemui istrinya yang sedang sekarat. Dan lihatlah sekarang, dia datang disaat istrinya sudah tiada. Untuk apa? Apa dia hanya ingin memastikan kalau istrinya sudah benar-benar tiada? Aku semakin membenci dirinya. Kata yang terucap dari bibirnya hanyalah kata maaf. Menyesal? Untuk apa? semua sudah terlambat. Aku menghapus bekas air mata yang tersisa dipipiku dengan kasar. Menatap penuh kebencian kearahnya. Meluapkan semua kekesalanku saat ini.
"Kau puas? Istrimu sudah tiada. Kau sudah sukses membuat seorang anak kehilangan ibunya. Bukannya kau seharusnya diberi penghargaan? Aku mengucapkan selamat kepadamu"
"Gilang!"
"Apa? Ah aku tau, pasti kebahagiaan mu belum sempurnakan? Kau juga ingin melihat ku mati..."
"Hentikan!" Tamparan keras mendarat dipipiku. Aku tidak merasakan sakit pada pipiku saat itu, tapi hatikulah yang saat ini bertambah sakit.
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?"
"Kenapa? Bukankah yang aku katakan benar? Selama ini aku mencoba memahamimu. Aku mencoba memahami kesibukanmu terhadap pekerjaanmu itu. Aku mencoba meyakini diriku bahwa kau hanya tak pandai mengekspresikan sayangmu terhadap diriku dan juga terhadap mama. Tapi hari ini kau sudah menghancurkan semua pemikiranku yang ingin memahamimu. Kau bahkan sudah membuatku kehilangan orang yang sangat aku sayang. Kau sudah melakukannya." Aku melangkahkan kakiku keluar, menarik knop pintu lantas membantingnya dengan keras. Lagi-lagi air mata mengalir dengan bebas. Tidak perduli dengan apa yang dipikirkan orang saat melihatnya. Ketahuilah! Kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi itu benar-benar menyakitkan.
Maafkan aku! Ini semua salahku! Sesal pria itu menggenggam tangan istrinya.
Kau tau? Menyesal tidak lantas membuat dia kembali.