Ceking, item, rambut bondol kucel, poni dijepit, wajah dekil en de kumel (alhamdulillah hidup), itu gue. Pagi itu, gue melangkah gamang memasuki gerbang sekolah baru, SMA gue. Tampilan gue di akhir tahun 90-an ya begitu. Ditambah bau ketek, rok sepuluh senti di bawah lutut. Stop, jangan dibayangin. Muntah gue enggak tanggung.
Cerita ini bermula pada hari pertama gue sekolah di Zelga. Itu sekolah emang rada ngumpet. Terletak di dalam sebuah kompleks perumahan pengawal presiden, jadi kalau urusan aman, sudah pasti aman. Aman dari kegaduhan, tawuran kampung, tawuran pelajar, penjarahan, dan yang lainnya. Hanya hati gue aja yang belum tentu aman dari pencurian, ejieeeeh.
Di sebelah barat sekolahan gue ada sepetak tegalan. Tanaman utamanya padi gogo, pakai sistem pengelolaan sawah di lahan kering, tapi tanaman selingannya bisa berupa kangkung, selada, sawi, kadang cabe (bukan cabe-cabean). Jadi kadang-kadang kalau emak gue butuh sayuran, tinggal nitip ke gue. Lumayan dapet sayur jumlah lusinan dengan harga grosiran. Nah keren kan sekolahan gue, di dalam sebuah kompleks perumahan satuan pengawal presiden, tapi masih ditemuin sepetak tegalan penuh ijo-ijoan di lokasi terpencil, nyempil, tapi enggak segede upil.
Gue terus melangkah masuk ke gerbang sekolahan, mengikuti jejak kaki ini, berjalan menunduk, bukan karena gue tawadu, juga bukan karena menundukkan pandangan, tapi gue ngarep siapa tahu ada ada receh nganggur di aspal, lumayan buat naik angkot atau kerokan.
Waktu itu gue cuma celingak-celinguk, plonga-plongo, untungnya gue enggak ompong kayak kambing ompong (karena gue enggak ompong), lagipula gue kan enggak jenggotan, jadi enggak bakal dikira kambing, gitu. Gue diem bentar, berdiri di ujung koridor, mepet ke tembok yang dingin, masih bagus enggak digigit semut merah di tembok. Di situ gue berusaha nyamain frekuensi dulu sama sekolahan yang bakal jadi rumah ke dua selama tiga tahun ke depan (itu juga kalau gue naik terus dan lulus tepat waktu sih). Gedung sekolah ini udah lumayan tua, berdirinya aja cuma beda setahun setelah gue dilahirkan, eeh jadi gue tua dong ya. Oh ya, sekolahan ini gedungnya enggak bertingkat, sederhana, bersahaja. Pintu gerbangnya berwarna hijau muda, tapi enggak seger, muda tapi enggak kinclong. Di dalam kompleks sekolah berpola huruf L itu ada lapangan olahraga, plus podium. Gue awalnya enggak paham itu podium fungsinya apa. Tetapi pertanyaan gue terjawab, saat upacara hari pertama. Oh jadi podium itu buat guru-guru baris di belakang insppektur upacara. Fungsi lainnya lagi aka gue ketahui kelak, itu podium buat manggung, nyanyi, ngeband. Enggak cuma buat murid, tapi buat guru-guru Zelga yang ngeksis ngeband. Kurang keren apa coba guru Zelga?
Terus ketika gue masuk pertama kali, serombongan bapak ibu sudah menyambut murid baru di depan gerbang. Walau item dan muka gue kucel enggak seger, tapi seragam gue licin disetrika, hari pertama masuk sekolah gue mesti cakep. Yaah, meski cakepnya gue di bawah standar orang sih. Tapi kan judulnya gue cakep. Saat itu gue kalem dan pasang tampang dimanis-manisin. Bersalaman, cium tangan, dan belakangan akhirnya gue tahu bahwa itu salah satu budaya di sekolah ini.
Adalah setiap pagi guru berdiri di dekat gerbang, terus bersalaman dengan murid yang datang awal dan tepat waktu, mereka manis untuk murid yang enggak terlambat kayak gue pas hari pertama masuk, tapi berubah jadi horor buat murid yang dateng telat, juga kayak gue di hari-hari selanjutnya.
Di koridor ini gue berdiri, mata gue mantengin papan pengumuman yang nempel di tembok. Satu persatu murid pada dateng, ada yang gue kenal ada juga yang enggak sama sekali. Yang gue kenal biasanya karena mereka satu sekolah pas SMP dulu, ada juga tetangga rumah, tetangganya temen gue, ada juga temennya tetangga gue, komplitlah. Dan biasanya Dara akan berkumpul dengan Dara, Elang dengan Elang, Kutilang dengan Kutilang, Jalak sama Jalak, Beo sama gue, dan jadi gue ?
Sambil ngobrol-ngobrol sok ngakrabin beberapa temen baru gue, mata gue kadang-kadang ngelirik papan pengumuman daftar murid, ruang kelas, dan urutan berdasarkan nilai tertinggi. Alhamdulillah gue ternyata enggak di urutan satu. Enggak kebayang deh kalau gue di peringkat satu, nanti gue mendadak terkenal, karena orang yang diurutan satu berarti nilai - dulu- namanya NEM (Nilai Ebtanas Murni), paling tinggi di sekolahan itu. Ini anak bakalan jadi terkenal, bakalan diciriin guru, dipastikan bahwa nilai anak ini emang beneran murni, beneran pinter, enggak pakai nyontek, ngebet, atau bocoran pas ujian. Beneran cerdasnya, iya beneran, enggak bohongan. Nah, kalau gue peringkat satu, gue enggak siap tuh. Hal seperti itu bisa jadi beban moral gue, kalau udah punya beban moral di awal, nantinya gue bisa stress, kalau stress ya itu tadi, inner beauty gue enggak muncul. Kasihan gue, udah item, dekil, ceking, kucel enggak seger ditambah enggak punya inner beauty. Ngenes banget hidup gue. Ternyata dari sekitar dua ratusan anak, lumayanlah gue enggak bloon-bloon banget, yang jelas gue bukan yang pertama dan terakhir..eejieeeh.
Mendadak gue merasa sepi di tengah keramaian. Gue bengong sambil merhatiin koridor. Gue kan setengah pujangga nih, hobi bikin puisi, tapi dalam hati. Gue bengong mikirin nasib koridor di sekolahan ini. Koridor ini buat gue lebih mirip koridor rumah sakit milik pemerintah. Koridor yang ramai riuh dengan sekumpulan murid berseragam putih abu-abu, dan sebagian kecil murid putih biru yang hanya berkumpul di satu titik. Koridor yang pastinya akan menjadi sepi, nyenyat, antap, ketika jam sekolah usai. Setelah riuh ramai itu, maka akan berganti dengan kesenyapan yang dingin. Nah kurang lebih begitu gue bayangin nasib si koridor di sekolahan ini. Dari koridor itu, gue jadi merasa bersyukur, alhamdulillah gue diciptakan jadi manusia, bukan koridor. Gue bersimpati padamu, wahai koridor.
Akhirnya gue ditempatkan di sebuah ruang kelas, 1-4. Lokasi kelas 1-4, ada di sebelah timur lapangan upacara, dari lapangan sekitar 10 meter, terus gue meniti jembatan "shirotol mustaqim" aah, bukan ding, maksud gue sebuah jembatan unik dari kayu dengan desain melengkung, uniklah pokoknya, di bawah jembatan itu ada kolam yang airnya keruh kehijauan. Konon kolam itu adalah kawah candradimuka anak Zelga, siapa kecemplung di situ makin hebat kayak Gatot Kaca, eh enggak juga ding, gue ngarang lagi. Faktanya kolam itu sering dipakai ritual bagi mereka yang berulang tahun tapi enggak traktir-traktir. Jadi ya siap-siap aja dicemplungin ke kolam itu. Tapi sepanjang sekolah di Zelga, gue enggak pernah diceburkan ke kolam itu, pun juga sepanjang gue ulang tahun juga enggak pernah traktir-traktir. Ditraktir mah sering. Aah betapa beruntung dan meditnya gue.
***
YOU ARE READING
BEO ZELGA
HumorKarena Zelga terlalu indah buat dibuang, terlalu sayang kalau enggak dikenang. Meski nasib naas kadang menghampiri gue, tapi gue punya seribu satu tameng buat menghindarinya, dan alhamdulillah gue selamet sampai detik ini. Karena segala sesuatu itu...