Bel di sekolah gue bunyinya bukan teng..teng..teng, soalnya entar si Ateng anak 1-5 bakalan nengok, juga bukan kring..kring..kring, entar dikira lagu, "kring-kring ada sepeda, sepedaku roda tiga..", atau teeet..teet...teeet, bisa dikira si Butet . Nah jadi bel di sekolah gue itu bunyinya unik, saking uniknya enggak bisa gue verbalkan. Kalau buat gue sih kedengaran kayak suara musik box yang ada Barbie menari balet di atasnya. Hahaha, imajinasi gue terlalu liar.
Eits, tapi bener lho, suara bel di Zelga belum pernah gue dengar di sekolah gue sebelumnya. Kadang sesekali berasa kedengaran kayak suara tukang es krim keliling, kadang juga kayak ringtone ponsel, kadang suaranya kayak peluit kereta api. Itu bel apa bunglon yaks, berubah-ubah suara semau dia.
Nah, sesaat ketika bel berbunyi semua murid yang tadinya terpencar enggak beraturan, kini jadi menyatu, berbaris rapi di depan kelas, bagaikan kawanan semut yang mau antre untuk sepotong roti. Pada saat berbaris itulah dijadikan kesempatan beberapa temen gue buat cuci mata, gue juga sih.
"Sst..itu kan Kak Dita, yang lagi bercanda sama Kak Faqih," bisik-bisik si imut Icha. Icha sih bisik-bisiknya sama Reni, teman duduknya yang barisnya juga sebelahan, tapi gue enggak sengaja nguping, jadi kedengeran deh.
"Iya, itu juga Rizky kan? Dia kelasnya di sana ya?" Reni ikutan komentar, nah kalau yang ini gue beneran nguping.
Dita, Faqih, Rizky, mereka adalah bagian dari manusia-manusia tenar di Zelga. Kalau Dita sama Faqih, salah satu member OSIS. Kak Dita itu kece, putih tinggi, rambutnya panjang ikal, tapi terawat, beraneka aksesoris yang nempel di rambutnya yang juga wangi. Gue pernah jalan di sebelah dia, dan sumpah, wangi! Enggak kayak si Mumun satu itu, rambut panjang enggak kerawat blass, mungkin menurut dia itu rambut gaya bangun tidur? Atau semacam gayanya Mbak Kunti yang dia modifikasi dengan seragam SMA. Enggak banget deh.
Bukan cuma Icha, cewek putih imut yang sedap banget buat dilihat, yang lagi ngomongin senior-senior mereka. Ada juga beberapa cewek-cewek lain yang baris sembari lihat-lihat gebetannya. Kalau gue? jelas enggak! Karena kayaknya gue sadar diri, kalau tongkrongannya Icha, Reni, Elsa, Amel, Mita, Wisanti, kan emang jelas kece, jadi kalau pun punya gebetan juga enggak bakalan sakit hati. Lha gue? mending gue mundur teratur, tak siap sakit hati..ii.ii.
Ketika baris sambil nunggu guru datang, selain cuci mata, apalagi aktivitas yang enak kalau enggak ngerumpi, gue juga kadang ikutan nyambung ke rumpiannya Icha, Elsa, kadang ke Irena, Ari, Wiri, yang bahasannya bisa beraneka. Kadang bisa jadi ikutan ngomongin semalem Juventus menang lawan Inter Milan sama Ferdi, Dayat, atau Ari. Yah ngomong apaan aja, dan sama siapa aja yang bisa gue sambung-sambungin. Gue sadar sih, kadang mereka gedek, pasalnya ujug-ujug gue main nyambung aja kayak listrik. Tapi biarlah, yang penting gue bahagia.
Gue nengok ke si Mumun. Ebujug, di tengah orang pada asik sama manusia, a.k.a ngerumpi, dia malah baca buku. Bikin gue mupeng aja pengen minjem.
"Buku apaan lagi nih, Mun?" tanya gue rada kepo.
Sebentar dia noleh ke gue. "Terjemahannya Salju Kilimanjaro," jawabnya pendek, terus dia asik baca lagi, sambil tetep diri di barisan.
"Ernest Hemingway! Gila, udah baca aja lo!"
"Lo udah baca?" tanyanya sambil ngelirik gue, biasalah dengan gaya merendahkan gue gitu.
"Belum, makanya entar gue pinjem ya!" gue baik-baikin dia, biar dipinjemin.
"Ogah!" dia balik baca lagi.
"Dih pelit lo, Mun!"
"Bodo!" jawabnya jutek, matanya tetap fokus sama bait-bait novelnya Hemingway.
Rasanya tuh ya, pengen gue jambak itu rambutnya biar makin awut-awutan, dasar Mumun. Asli gue keki. Tapi tenang, gue coba tenang. Banyak jalan menuju Roma, entar gue rayu dia, kali aja bisa pinjem, lumayan kan bisa baca bukunya Hemingway. Soalnya di perpustakaan Zelga enggak ada sih.
Sejurus kemudian kami diam, datang seorang guru dengan hanya membawa buku presensi. Angga, Si Kepala Suku maju ke depan, merapikan barisan, semua nurut, manut, nunut, masuk kelas satu persatu, tanpa suara, termasuk gue. Mumun juga menutup bukunya, mendadak dia jadi anak penurut.
***
Berjilbab, modis, logat jawa kental, lugas, smart, dan yang pasti ramah, itulah sosok guru di depan kelas yang ternyata wali kelas gue di 1-4 ini. Bu Endraswati, beliau mengampu mapel Kimia. Nah, Kimia ini, mata pelajaran eksak baru buat kami semua di kelas ini. Waduh, jidat gue mulai keringetan, masalahnya untuk semua pelajaran yang pakai rumus matematika gue tiarap. Tapi hari pertama ini Bu Endras enggak langsung masuk ke pelajaran, asiiik. Biasalah sebagai walas pada umumnya, beliau pengen tahu dan kenal sama wajah-wajah baru anak walinya yang bakal ditemenin dan dibela (saat rapat kenaikan kelas) untuk satu tahun ke depan.
Beliau itu juga ngomongnya cepet, gue jadi berasumsi, apa orang yang pinter ngomongnya pada cepet-cepet ya? Kayak Si Mumun ini contohnya, entahlah. Nah saat beliau ambil buku presensi, dipanggilah nama murid dalam kelas ini satu persatu. Celetak-celetuk beberapa murid yang rada caper, entah sama siapa. Sesaat setelah Bu Endras memanggil nama kami, berhamburan juga nama-nama panggilan "kesayangan".
"Ahmad Syarifuddin," Bu Endras memulai memanggil kami.
"Amet Bu!" gue enggak tahu tuh manusia mana yang nyeletuk.
"Bastiar."
"Baskom Bu!" serempak, suaranya kedengeran kayak orang lagi pada koor, habis itu pada ketawa.
Gue nengok ke cowok yang duduknya di deretan gue, belakang. Astaga, ada manusia dipanggil baskom? Emang apanya yang kayak baskom? Perasaan kelihatan anak baik, rada manis juga, rambut cepak satu senti jambulan. Ah, emang itu mulut-mulut tidak bertanggung jawab, malah gue jadi yang kesel ya. Si Baskom, eh maksud gue Bastiar, cuma senyum-senyum enggak nyaman sama ulah anak-anak ember yang duduk di belakang. Sesaat kemudian suasana kembali hening. Hening, tanpa Bu Endras harus teriak atau apapun, cukup dengan Bu Endras diam, semua murid udah segan.
"Budiyanto, Bu Endras melanjutkan memanggil.
"Buday Bu!" jawab orang-orang belakang sambil cengengesan enggak jelas. Wali kelas kami memperhatikan dengan saksama, manggut-manggut, lantas meneruskan memanggil yang lain, sesuai abjad, sampai pada murid ini.
"Fitri Yuliana!"
"Mpit Bu!" celetuk seseorang tak bertanggung jawab.
Gue belum terlalu kenal sama Fitri. Gue perhatiin cewek putih tinggi, body atletis, rambut ikal berombak, dengan wajah yang tegas, kayaknya pantes jadi polwan.
"Fajrin Agustian Trisnanto!"
"Ciplenk Bu!"
What Ciplenk? Hadduh itu panggilan apaan lagi coba. Apa masih sodaraan sama cilok, dan cireng? Lalu teruslah, nama-nama panggilan masih berhamburan. Defi Maulana jadi Habib, Prima Ada Dwi Aji, jadi Bajay. Maka sampailah Bu Endras memanggil nama gue.
"Beo Bu!" celetuk mulut manusia jelmaan ember bocor yang duduk di belakang, bikin gue kesel setengah mampus. Tapi apalah daya, gue hanya bisa mendengus ketus.
***
YOU ARE READING
BEO ZELGA
HumorKarena Zelga terlalu indah buat dibuang, terlalu sayang kalau enggak dikenang. Meski nasib naas kadang menghampiri gue, tapi gue punya seribu satu tameng buat menghindarinya, dan alhamdulillah gue selamet sampai detik ini. Karena segala sesuatu itu...