To the Beach

510 39 12
                                    

Ternyata, begini rasanya jadi bagian dari organisasi kaya, ya.

Mengangguk-angguk puas, kamu menyedot es jeruk segar dari gelasmu. Jika es jeruk yang biasa kamu beli terasa terlalu manis, yang ini berbeda. Rasa asam jeruk aslinya sempat membuatmu kaget sejenak, tetapi justru itu yang menjadikannya terasa nikmat diseruput di bawah terik matahari pantai ini.

Di atas pasir putihnya tidak ada orang-orang yang tidak kamu kenali. Tentu saja, ini pantai pribadi milik bosmu. Lucy Maud Montgomery membangun istana pasirnya yang ketiga, setelah dua kali dirusak oleh ombak yang meruntuhkannya. Di sisinya, Margaret Mitchell berjemur cantik sambil membaca buku. Di laut dangkal yang biru cerah itu, John Steinbeck mencari-cari sahabatnya yang sepertinya tertidur di dasar air. Nathaniel Hawthorne belum juga menyerah belajar berselancar, meski ia berkali-kali dijatuhkan oleh ombak yang berdeburan.

Agak jauh dari mereka, kamu duduk di balik konter tiki bar  dan bicara kepada pemuda dengan rambut panjang bergelombang di sudut.

"Kamu tidak mau main air juga, Edgar?"

"Novelku belum selesai," gumamnya sambil terus menulis.

"Untuk Edogawa Ranpo-kun?"

"Hmm."

Seorang pria berambut pirang ikut bergabung meski ia berdiri di seberangmu. Ialah yang membuatkan minuman untukmu dan Edgar Allan Poe yang tak pernah berhenti menggerakkan penanya.

"Bersantailah sedikit," katanya kepada pemuda berambut gelap itu, "jeruknya tidak diminum? Aku mengimpornya dari Indonesia, murah tapi enak. Ayolah, diminum dulu."

"Jeruknya terlalu asam untuk orang tua sepertiku, Francis," ujar pria tua yang duduk di sebelahmu, "aku takut lambungku kenapa-kenapa..."

"Ah, Pak Tua Melville, Old Sport," balas pemuda pirang itu sambil terkekeh, "aku tidak menambahkan gula karena pria seumuranmu lebih rentan terkena diabetes."

Bahkan, Poe tidak tahan untuk tidak tersenyum di balik poninya. Kecuali dia, kalian bertiga tertawa pendek. Kamu senang sekali, orang-orang Guild menerimamu dengan baik meski kamu baru saja bergabung dengan mereka, dan kamu bukanlah warga negara Amerika asli.

Ketika dari jauh, kalian melihat tentakel-tentakel Lovecraft sengaja menjatuhkan Hawthorne dan papan selancarnya, tawa tertahan kembali terdengar. Herman Melville menggeleng-geleng kepala.

Francis Fitzgerald tiba-tiba memanggilmu.

"Kalau di negara asalmu," ia bertanya penuh rasa ingin tahu, "bagaimana musim panasnya? Kudengar, Jepang punya banyak cara untuk merayakan musim panas."

"Wah, aku suka sekali cerita soal ini," ujarmu senang sambil tersenyum lebar, "ada banyak festival menarik yang diadakan sepanjang musim panas. Di Yokohama, kami mengadakan Festival Kembang Api Internasional. Kurang lebih enam ribu kembang api meletus untuk menyambut datangnya musim panas... akan tetapi, daya tarik festival-festival kami bukan hanya petasan dan kembang api saja."

"Ranpo pernah mengirimkan foto minuman bernama Ramune kepadaku," tiba-tiba Poe ikut nimbrung, "juga foto makanan-makanan lainnya... ada kembang gula, cumi bakar, lalu apel yang ditusuk pakai sumpit... aku lupa namanya."

"Itu ringo ame," lanjutmu gembira, "permen apel. Aku suka itu. Jadi, kamu menusukkan sumpit atau stik kayu ke apelmu, lalu mencelupnya ke dalam karamel... itu enak sekali. Makanan itu pasti ada di festival musim panas kami."

Padahal, ini adalah musim panas pertamamu di Amerika, tetapi kamu jadi sangat rindu keramaian festival di kampung halamanmu. Kubus-kubus es di gelasmu mulai mencair. Kamu jadi mengingat-ingat minuman apakah yang kamu minum untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan Yokohama.

"Banyak permainan di festivalnya. Menangkap ikan mas kecil, melemparkan karet gelang ke target, menembak... kalau dipikir-pikir, aku belum pernah mencoba main undian tali, deh..."

"Dan pertandingan sumo," cetus pria berjanggut putih di sisimu, "di Kokugikan, Tokyo. Itu seru sekali."

Ah, kamu juga belum pernah menontonnya. Kamu lebih tertarik dengan voli, meski warganet sepertinya sedang keranjingan bulu tangkis lantaran kemunculan para atlet muda tampan yang bikin rahim wanita gonjang-ganjing.

"Ya, musim panas di Tokyo sangat riuh," komentarmu akhirnya, "semua waterpark penuh. Orang dewasa menikmati bir dingin, sementara anak-anak berkumpul di bukit atau rumah kosong untuk berbagi cerita seram... kadang, kami pergi mengunjungi atraksi rumah hantu."

Poe dan Melville saling pandang, sementara Fitzgerald tertawa pendek.

"Bagaimana dengan pantai? Apakah orang Jepang juga memenuhi pantai?"

"Tentu saja," jawabmu lugas, "sama seperti di sini, kami berenang dan berjemur. Biasanya, kami membawa semangka, tongkat kayu, dan kain untuk menutup mata. Kami akan berusaha membelah semangka itu menggunakan tongkat, dengan mata tertutup... itu seru sekali."

Kalian bertiga meneguk es jeruk bersamaan dan menghela napas lega. Segar sekali.

Tahun depan, mungkin kamu akan meminta izin cuti musim panas kepada bosmu ini. Tidak ada salahnya bukan, pulang untuk berlibur sejenak. Cerita tentang festival dan musim panas itu membuatmu sedikit merindukan rumahmu.

Seandainya, kamu masih punya seseorang yang menunggu kepulanganmu di Yokohama.

"Bos, kami pulang!"

Akhirnya, kamu menyadari bahwa ada yang kurang dari kalian, baik mereka yang tengah bergembira di pantai, maupun kalian yang berteduh di tiki bar. Kamu tidak melihat wanita pemalu itu, juga pemuda berambut cerah yang baru tiba bersama. Louisa May Alcott terlihat lelah, sementara Mark Twain terkekeh-kekeh gembira sambil menyapamu.

"Bagaimana," pemuda berambut pirang bertanya kepada mereka berdua, "ketemu barangnya?"

"Tentu saja! Kami dibantu teman-teman kecilku, coba lihat ini!"

Kamu terperangah melihat barang-barang yang dibawa oleh pria itu. Dua, tiga buah semangka segar yang besar bergulir di atas pasir pantai. Tangan kiri Twain membawa dua tongkat kayu dan satu pemukul kasti. Wanita di sisinya membawa kain-kain tebal berwarna hitam.

"Bos...?"

"Aku memang tidak bisa mengajak kalian semua berlibur ke kampung halamanmu sekarang ini karena masalah yang kita timbulkan di Yokohama," katanya sambil tersenyum, "tetapi setidaknya, aku bisa memberikan keceriaan musim panas di sana dengan suiwaraki -bukan, sukiwarau- eh, salah ya, suaki- "

Tawamu terdengar tertahan oleh rasa haru di tenggorokanmu, "Suikawari, Bos."

"Ya, apalah itu namanya," ia meninggalkan konter dan memanggil-manggil semua anggota di pinggir pantai, "Ke sini dulu, Anak-anak! Kita main pecah-pecah semangka!"

Pria tua di sisimu bertukar pandang denganmu, disusul oleh tawa pelan di antara helaan napas panjang.

The First Drabbology : 2018 Summer DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang