1

12 1 1
                                    

Pagi itu Afan dan Caca pergi menelusuri sebuah desa, dekat kerajaan. Mereka berniat untuk mencari uang dengan cara merampas, seperti yang diajarkan Ayahnya. Di perjalanan mereka bertemu dengan Achi yang sedang memetik bunga.

"Hei, Kak! Kalian mau kemana?" tanya Achi dengan senyum khasnya.

Afan menjawab tanpa menoleh, "Bukan urusanmu! Minggir!"

Kemudian Achi menyingkir dengan senyum mirisnya, membiarkan kuda yang ditunggangi Kakaknya pergi.

"Padahal aku hanya bertanya, mengapa Kakak begitu marah?" gumam Achi.

Setibanya di desa mereka mulai melancarkan aksinya.

BRAK!!! BRAK!!! BRAK!!!

Afan menggedor sebuah pintu rumah yang terbuat dari kayu dengan kencang.

"Buka pintunya!!!" teriak Afan hingga urat di lehernya tercetak jelas.

BRAK!!!

"Lebih keras, Kak! Sepertinya mereka tuli." perintah Caca.

Afan melirik sinis Caca. "Kau! Mengapa kau menyuruhku? Lebih baik kau saja yang mengetuk!"

"Mengetuk? Ini bukan mengetuk namanya, Kak! Bodoh!" cibir Caca.

"Sudah, cepat lakukan! Kau kira tanganku tidak sakit? Lihat ini!" Afan menunjukkan tangannya yang memerah.

"Kau ini sungguh bodoh, Kak! Pintu ini terbuat dari kayu jati! Jelaslah sakit bila kau memukulnya seperti itu!" tukas Caca dengan senyum miring.

"Jika bukan diketuk seperti itu, lalu harus seperti apa?!" cerca Afan dengan mata melotot.

"Kau tidak lihat ada bel di sebelah sini? Matamu itu tidak minus tapi mengapa bel sebesar ini tak terlihat?!"

Kemudian Caca menekan bel tersebut.

Ding Dong..

Bel tersebut berdering dengan kencang hingga bergema. Kemudian pintu terbuka dengan sendirinya.

"Tidak ada orang?! Sudahlah lebih baik kita pergi saja! Ayo!" ajak Afan.

"Kau gila?! Kita kan ingin merampas! Baguslah bila rumah ini kosong!" Caca menarik tangan Afan hingga terjatuh.

"Memang bagaimana caranya? Aku lupa." Afan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, malu.

"Sudah! Tak usah banyak omong! Ayo cepat ambil barang berharganya! Sekalipun ada orangnya, tinggal habisi dia!"

Mereka mulai menelusuri rumah dan mengambil barang berharga. Setelah itu mereka menelusuri rumah warga yang lain.

Mari kita tinggalkan kedua saudara yang sama idiotnya itu. Kembali ke kerajaan.

Achi sudah kembali dengan membawa banyak bunga untuk ia jadikan hiasan. Kemudian Alfat menghampiri Achi yang masih membawa keranjang bunga dengan wajah yang heran.

"Kau memetik bunga lagi? Untuk apasih? Bagiku bunga itu tak lebih dari sebuah sampah! Cepat buang!" hardik Alfat dengan telunjuk yang mengacung tepat di depan wajah Achi.

"Aku tidak akan membuangnya, Kak. Bunga ini untuk menghias kamarku." jawab Achi dengan senyuman. "Cantik kan?"

"Cih! Cantik katamu? Bunga jelek seperti ini yang kau sebut cantik?" Alfat merebut keranjang bunga Achi, kemudian dijatuhkan dan diinjak. Senyum Achi seketika pudar. Wajahnya kini terlihat murung. Bagaimana tidak? Bunga yang ia petik dengan mudahnya diinjak oleh Kakaknya. Padahal ia susah payah mencari bunga hingga ke dalam hutan yang jauh dari jangkauan warga.

"Ini baru cantik!" kemudian Alfat meninggalkan Achi yang mulai meneteskan air mata.

Di saat Achi menangis, Riri menghampiri. "Adik cantik, mengapa kau menangis?" tanyanya sok baik.

"Bungaku diinjak Kak Alfat. Aku sedih, Kak."

"Uhh! Kasihan." ujarnya yang mengusap pundak Achi dengan jijik.

"Ck! Bunga seperti itu mudah didapatkan! Mengapa kau menangisinya? Dasar cengeng!" sambung Riri, kemudian mendorong tubuh Achi hingga terjatuh.

"Tapi, Kak, aku memetiknya jauh di dalam hutan."

"Lalu? Aku harus memetiknya untukmu, begitu? Cih." Riri pun meninggalkan Achi dengan senyum miringnya tanpa rasa kasihan.

Sementara itu Hani dan Rara sedang memanah di halaman. Mereka merasa bosan karena setiap hari selalu memanah. Untuk itu Hani mengajak Rara untuk pergi jalan - jalan.

"Kak, kita pergi saja, yuk! Aku bosan!" ajak Hani.

"Kemana?"

"Tidak tahu, Kak. Aku bosan. Ayolah!" rajuk Hani pada Rara.

Karena Rara merasa bosan juga, akhirnya ia menerima ajakan Hani. "Yayaya. Baiklah."

Mereka pun berjalan - jalan dengan menunggangi kudanya masing - masing. Di perjalanan, tidak sengaja Hani menabrak seorang gadis yang sedang menyebrang. Gadis itu terjatuh, sama seperti Hani.

"Aduh! Bagaimana sih kamu?! Jalan tuh jangan bengong!" caci Hani pada orang itu.

"Maaf. Maafkan aku, tuan putri." gadis itu menunduk hormat, tahu siapa yang menabraknya.

"Maaf?! Kau kira ini tidak sakit?!" ketus Hani yang kembali berdiri.

Yumi menghampiri. "Kau! Etha, kan?!" tanya Rara.

"I.. Iya."

"Loh? Kakak mengenalnya?" tanya Hani dengan wajah tak terima.

"Iya. Dia itu anak dari pembantu kita. Aku pernah mendengar namanya. Ya meskipun tidak penting, sih."

"Jadi.. Kau Etha yang selalu dibanggakan oleh pembantuku? Siapa? Bibi Kia, kan Ibumu?" tanya Hani mencibir.

"Iya. Aku anak dari Ibu Kia." jawab Etha masih dengan menunduk.

"Oh!"

"Ayo, Kak kita pergi saja! Dia ini hanya menghambat perjalanan kita." Hani kembali menunggangi kudanya, meninggalkan Rara dan Etha.

"Tunggu!" Rara pun menyusul Hani.

"Aku yakin mereka sebenarnya baik. Tapi, mengapa begitu malu untuk menjadi baik?" gumam Etha.

bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Raja MiskinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang