Clara turun dari mobil, menenteng koper besar miliknya. Sopir yang mengantarkannya sudah kembali tanpa menawarkan apakah dirinya memerlukan bantuan atau tidak.
Seumur hidup ia baru pernah menginjakan kakinya di tanah sebecek ini yang mampu menenggelamkan high heels miliknya sedemikian rupa hingga ia harus berjalan tanpa alas kaki. Ia mendengus kesal, semua karena sang ayah yang meliburkannya ke pedesaan seperti ini, sebelumnya ia berpikir akan berlibur ke luar negeri seperti tahun tahun sebelumnya ternyata ia harus berbesar hati dengan terpaksa saat mendapatkan liburan yang di luar dari perkiraannya.
Clara mengetuk dengan keras pintu bercat coklat tak layak pakai baginya, ia bahkan berpikir mungkin pintu itu tidak semahal harga high heels miliknya.
Gaunnya yang super mahal itu sudah tak layak pakai baginya saat mendapati beberapa noda lumpur akibat kakinya yang dihentak-hentakan akibat rasa kesal.
Dia bukanlah gadis manja namun juga tidak terlalu mandiri, kekesalannya timbul karena ekspektasinya terlalu tinggi sedangkan sekarang dirinya tengah disuguhi realitas yang amat sangat anjlok ketimbang bayangannya selama ini berupa liburan mewah di luar negeri sekalian nonton konser, pikirnya. Namun yang ia dapatkan sekarang adalah suara berisik dari anak-anak bebek yang saling bersahutan di pinggir sawah tak jauh dari dirinya sekarang.
"Iya sabar, sabar."
Suara maskulin terdengar di telinga Clara, wajahnya yang selalu menampilkan ekspresi berlebihan saat ini tengah terlihat kelelahan menjurus ke tampang bodoh yang sedari tadi tak lekas hengkang dari wajahnya hingga membuat suara merdu itu tak lagi Clara dengarkan dengan baik.
Saat pintu terbuka, Clara segera mendongakan wajahnya dan di depannya ia disuguhi lelaki berwajah manis yang khas Jawa, dengan kaos entah apa mereknya, saking tidak terkenalnya Clara sampai tidak tahu dimana kemungkinan lelaki itu membelinya.
"Cari siapa ya mbak?" Tanya laki-laki yang tengah menatap gadis di depannya lekat memperhatikan. Benar seperti kata dosen Clara yang genit, kecantikan elok gadis itu tiada yang bisa menandingi dan semua pria seolah ingin bersujud dengan sendirinya tanpa gadis itu meminta. Berlebihan memang, namun jika tidak berlebihan bukan Clara Anderson namanya.
"Saya mencari Bapak Johar," kata Clara singkat. Ia tidak ingin mengakui bahwa dirinya memang sedikit tertarik dengan laki-laki di depannya, gadis itu menggeleng, laki-laki di depannya tampak mempesona dan pasti sudah menikah, pikirnya. Clara selalu berpikiran bahwa lelaki akan terlihat mempesona setelah menikah. Clara juga mengira bahwa usia dirinya dan lelaki di depannya tampaknya sedikit jauh.
"Saya anaknya, mari masuk dulu mbak. Biar saya panggilkan bapak di kebun."
Clara mengikuti lelaki yang ia harapkan masih bujangan itu, meski dalam pikirannya berkata tidak mungkin lelaki tampan terlihat matang itu masih menjomblo di desa seperti ini, akan tapi ia akan percaya begitu mudahnya jika terdapat manusia dengan usia 40 tahun tinggal di kota masih betah menjomblo.
Gadis itu duduk di sofa buluk berwarna coklat yang menurut dirinya sudah layak untuk dibuang dan beli yang baru, kulit sofa sudah tidak lagi mulus sedangkan warnanya pun sudah mulai terlihat memudar.
"Dek Clara tunggu di sini ya, biar mas panggilkan bapak sama ibu yang lagi ngurus sawah," ujar lelaki itu. Clara hanya menganggukan kepala sebagai bentuk persetujuan, lebih cepat lebih baik. Pikirannya saat ini hanya kasur empuk.
Sepeninggal lelaki itu, Clara mendesis. "Panggilan macam apa itu, Dek Clara? Ew, harusnya Non Clara yang cantik cetar meratui alam semesta," katanya angkuh namun terlihat sedikit lucu saat mulut kecil itu terus mencibir akan panggilan yang lelaki itu tujukan padanya. Meski begitu, dipanggil demikian mampu membuat wajahnya memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARA (Completed)
Short StoryDalam bayangan Clara liburannya kali ini bagaikan malapetaka, ia berlibur ke tempat tak terduga! Tapi bagaimana jika dalam sekali tatap saja ia terpesona pada pemuda yang merupakan anak dari pekerja ayahnya, masihkah menjadi malapetaka baginya? -One...