Hari masih remang-remang, jam masih menunjukan pukul setengah enam pagi namun Damar sudah mulai menyapu halaman rumah membantu sang ibu yang sekarang tengah membuat sarapan untuk mereka semua.
"Mas Damar rajin banget." Suara merdu itu terdengar mengalun indah di pendengaran Damar. Pria itu berdiri tegak, dilihatnya Clara duduk di kursi tua dengan secangkir teh yang tengah dipegangnya, mencoba menghangatkan telapak tangan yang terasa kaku akibat dingin yang menusuk.
Damar tersipu, "Iya terpaksa, ini kan sebenarnya tugas kamu."
Clara terkekeh mendengar perkataan Damar yang terdengar mencoba ingin menghangatkan suasana di pagi hari ini. "Sebagai hadiahnya, Clara sudah siapin kopi hangat buat Mas Damar yang rajin biar nyapunya nggak sambil ngantuk," ujar Clara sambil menunjuk secangkir kopi di atas meja kayu.
"Terima kasih Dek Clara yang cantik meski belum mandi."
"Itu sih memang, aku kan selalu cantik dalam keadaan apapun," ujar Clara setelah menegak teh hangatnya.
Selesainya menyapu Damar menghampiri Clara, meski tak semalu-malu hari kemarin jantungnya masih saja berdetak lebih cepat kala terlintas gadis itu di otaknya.
"Nanti ke sawah?" Tanya Damar, pria itu duduk di seberang Clara. Gadis itu tampak malu-malu, dirinya menatap Damar dengan binar merona.
"Iya, kamu maukan temenin aku?" Tanya Clara penuh harap.
Damar memperhatikan Clara, tersenyum menyetujui akan permintaan gadis itu dengan senang hati. Bagi Damar sendiri ia akan melakukan apa saja yang gadis itu inginkan. Baginya Clara adalah segalanya, bisa satu atap dengan gadis itu saja ia sudah bersyukur, setidaknya ada kemajuan pesat dibandingkan dulu yang dirinya hanya bisa memadangi gadis itu setiap kali pulang dari sekolah atau lesnya.
Pukul tujuh pagi keduanya sudah berjalan bersisihan menuju sawah milik dari ayah gadis yang tengah memegang lengan kekar Damar, gadis itu tampak ngeri berjalan di arena pinggir sawah yang memang berlumpur.
Damar yang biasanya setelah subuh sudah berangkat ke sawah hari ini menunggu pukul tujuh pagi jika tidak ingin Clara menggigil kedingan, jam segini saja Clara tadi sempat mengeluh dengan cuaca yang memang terlalu sejuk baginya.
“Berhenti dulu.”
“Kenapa?” tanya Clara saat Damar memintanya untuk berhenti.
Damar berjongkok, ia meminta Clara untuk berpegangan pada bahunya. “Biar aku yang bawa, sandal kamu nggak cocok jalan di atas tanah seperti ini, licin,” ujar Damar, “nah kamu pakai sandal ini saja,” sambung Damar sambil menyodorkan sandal miliknya.
“Kamu nggak papa? Nggak takut ada cacingnya?”
Damar terkekeh mendapat pertanyaan dari Clara, pria itu kembali berjalan sambil membawa tangan gadis itu.
“Aku sudah terbiasa, lagian aku nggak seperti kamu yang takut cacing.”
Sesampainya mereka berdua di lahan yang memang berhektar-hektar luasnya, Clara hanya duduk-duduk di sebuah rumah pohon memperhatikan Damar yang tengah berjalan ke sana kemari dan gadis itu tidak tahu apa yang Damar tengah lakukan itu. Cuaca cukup panas, keringat pun sudah membasahi gadis itu, untung saja angin berhembus pelan membelai dirinya.
“Kok sepi?” tanya Clara pada Damar. Pria itu melepaskan caping yang dikenakannya, duduk di samping Clara.
Clara memperhatikan Damar, menyentuh leher dan lengan pria itu yang mengkilap akan keringat, ia meneguk ludahnya. Lagi-lagi apa yang ia benci terjadi, dirinya merasa ‘gerah’ melihat Damar. Lebih dari biasanya.
“Mas Damar..” Kata Clara berbisik, gadis itu mendekatkan dirinya pada Damar.
“Ya?” jawab pria itu, tangannya tak tahan untuk tidak menyentuh tengkuk Clara. Membawa gadis itu semakin dekat dengannya, hingga bibir keduanya bertemu. Damar memagut Clara, mendekapnya memperdalam ciumannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/161229327-288-k469570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARA (Completed)
Cerita PendekDalam bayangan Clara liburannya kali ini bagaikan malapetaka, ia berlibur ke tempat tak terduga! Tapi bagaimana jika dalam sekali tatap saja ia terpesona pada pemuda yang merupakan anak dari pekerja ayahnya, masihkah menjadi malapetaka baginya? -One...