2

5 1 0
                                    

🍁

“Jadi kesepakatannya sudah jelas, satu bulan, dan tanpa taruhan apa-apa. Cuma ingin lebih maju dikit.  Gitu?” begitulah mereka memulai perburuan dua bulan yang lalu itu, yang semua berakhir dengan penyiksaan seperti ini. Shina berkata dengan sangat yakin. Tak mau kalah, Elang menyetujuinya. Dan akhirnya mereka saling berlomba siapa yang paling pertama bisa mengungkapkan perasaanya pada orang yang sudah lama disukainya.

Hal ini memang hal biasa tapi orang-orang yang mereka suka itu sudah punya pacar. Tantangannya adalah mereka harus melakukannya didepan pacarnya orang-orang itu. Bagi Elang yang memang bukan seorang cowok yang blak-blakkan, itu adalah tantangan yang lumayan susah, apalagi Shina yang sangat pemalu.

Minggu pertama, Senin pagi yang cerah, dengan penuh tekat Elang  menghampiri sang pujaan hati, Cinta. Cinta emang bukan cewek yang akan diperebutkan cowok-cowok karena kulitnya atau semacamnya. Tapi semua cowok akan meliriknya begitu melihat dia tersenyum dan mendengar suaranya yang lucu. Dia benar-benar cewek imut yang manis. Sedikit kekanak-kanakan. Pintar. Kritis.

Lapangan parkir sudah mulai sesak pagi itu.

Minggu ketiga, Shina masih belum melakukan apa-apa.

“Gue nggak tega.” Itulah alasanya.

“Siapa sih orangnya?” Elang pun bertanya.

“Ada deh.”

Minggu keempat rasa-rasanya Elang tahu siapa yang ditaksir Shina itu. Cowok itu pasti Darren. Tidak sekali Elang menangkap basah Shina sedang memandangi Darren diam-diam dimanapun ada kesempatan. Darren emang senior yang terkenal. Pintar, baik hati, tidak sombong, pake kacamata, pencinta Sherlock Holmes, dan juga lingkungan, tidak merokok. Benar-benar cowok idaman Shina.

Dua hari sebelum hari perjanjian berlalu, Shina masuk rumah sakit. Kanker darah yang menggerayangi tubuhnya makin parah.  Elang tak pernah memperlakukan Shina seperti orang sakit yang butuh perhatian yang banyak yang kadang malah seperti kasihan. Menyakitkan baginya untuk bertingkah seperti itu. Hal seperti itu malah membuat kematian makin nyata didepannya. Dia selalu bertingkah seperti tidak ada satu hal pun yang perlu dicemaskan. Dia tahu ini membuat Shina jadi orang yang optimis. Dia tak ingin membuat mimpi buruk itu jadi nyata.

Hari terakhir, Shina tidak apa-apa. Dia tetap ke kampus. Dan ini adalah kesempatan terkhirnya.

“Lakukan sekarang atau tidak sama sekali.” Elang menantangnya.

“Gue nggak bisa. Nggak tega. Nanti mereka bertengkar.”

“Ya enggak lah Shin, lo kan Cuma bilang kalo lo suka sama dia.”

“Gimana kalo gue ditolak?”

“Nyakitin sih.” Elang teringat perasaan yang menyakitkan itu yang menimpanya sebulan yang lalu. “Tapi paling tidak dia tahu, trus elo juga bisa lega kan. Nggak penting dia terima atau tolak.”

“Kalo menurut lo gue bakal ditolak nggak?”

“Kalo menurut gue sih, lo emang bakal nggak diterimanya.”

“Dasar resek, ya.” Dan saat itu mereka masih tertawa.

Elang menarik Shina ke gedung olahraga, dimana biasanya Darren nongkrong sama ceweknya sambil melihat yang lain latihan.

“Elang, apaan sih. Gue nggak mau.”

“Jadi lo mau jadi orang yang kalah terus-menerus?”

“Gue nggak pernah kalah, karena gue belum memulai.”

“Belum memulai? Lo lupa ya, kalo lo yang memulai pertarungan ini.”

“Tapi gue kan belum melakukan pergerakan apa-apa?”

“Nah, itu dia! Sekaranglah saatnya. Ini hari terkhir, kan?”

Dengan semangat menggebu Elang terus menyeret Shina mendekati sepasang kekasih itu.

🍁

Going Home [a short story] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang