Aku Bukan Pengkhianat

194 3 0
                                    

Saya Yudas. Sumpah demi Fadli Zon dan Neno Warisman saya ini lelaki tulen. Banyak yang menuduh saya maho karena kebiasaan saya mencium pipi laki-laki. Tapi percayalah, biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, saya lebih memilih Luna Maya ketimbang Lucinta Luna.

Selama 30 tahun hidup saya, tak kurang dari 69 laki-laki pernah saya cium pipinya. Bagi saya tidak ada yang aneh dengan itu. Kebiasaan ini mungkin aneh di tempat lain, tapi di tempat kelahiran saya Galilea, hal ini menunjukkan kedekatan kita dengan seseorang. Karena hanya sahabatmu sajalah yang pantas mendapatkan ciumanmu. Jadi saya heran ketika banyak yang mempersalahkan saya karena mencium laki-laki dari Nazareth itu. Semua bilang saya palsu, munafik, pengkhianat. Saya heran mengapa orang menyalahkan saya karena mencium laki-laki yang saya hormati.

Saya mengenal laki-laki itu tiga tahun yang lalu. Waktu itu saya berumur 27 tahun dan sudah berencana untuk menikah dengan wanita yang saya cintai. Wanita ini sahabat Martha teman saya, seorang wanita bijak yang diimpikan banyak lelaki di kampung saya. Namun, rencana pernikahan saya batal karena saya memutuskan pergi bersama laki-laki itu. Orangtua saya marah dan kecewa atas keputusan yang saya ambil. Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan wanita cantik calon isteri saya dan pergi bersama laki-laki yang baru saya kenal? Hipnotis apa yang begitu kuat meracuni akal sehat saya hingga saya tega meninggalkan ayah, ibu, dan adik-adik saya, juga semua kambing domba ayah saya yang terhitung banyak di Galilea? Ya, ayah saya orang yang cukup terpandang di kampung saya. Kami memang bukan orang kaya, tapi dibanding tetangga-tetangga kami, kehidupan kami jauh lebih baik.

Tapi saya sudah memilih jalan hidup saya. Saya terpesona pada laki-laki itu. Dia begitu berkuasa. Banyak yang bilang laki-laki itu tukang sihir. Karena suatu kali dalam perjalanan kami ke Kana, dia menyihir air menjadi anggur. Tidak itu saja, dia juga menyihir segenggam roti menjadi makanan yang tak habis-habis buat lima ribu orang. Sungguh, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Dia bisa sihir!

Mungkinkah sihirnya itu yang merusak akal sehat saya? Saya tidak tahu. Yang jelas lelaki itu begitu baik pada saya. Bersama dia saya bertemu dengan teman-teman baru saya. Saya berkenalan dan mengangkat saudara dengan sebelas laki-laki bau dan bodoh yang kebanyakan adalah bekas nelayan yang jarang mandi.

Mungkin karena diantara yang lain saya dianggap paling pintar, saya dipilih memegang keuangan. Tiap hari saya diwajibkan menulis berapa uang masuk dan keluar dari dana yang kami punya. Pernah suatu kali saya sakit sehingga tidak bisa menulis laporan keuangan, dia menyuruh Petrus sementara menggantikan tugas saya. Tapi apa jadinya? Nelayan bau itu salah menjumlahkan 12.500 dan 2.350 menjadi 15.320. Tidak bisa disalahkan memang, karena untuk menghitung 3 x 4 saja dia butuh waktu 13 menit! Jadi saya tau mengapa saya dipilih untuk memegang uang kas. Karena tanpa saya, kami tidak bisa apa-apa. Dia butuh saya.

Tiga tahun saya memegang uang kas tak pernah terbersitpun di benak saya untuk korupsi. Maaf saja, meskipun umur dan tampang saya mirip Gayus, saya haram mengambil apa yang bukan hak saya. Ayah saya mengajarkan untuk berlaku jujur. Makanya saya heran mengapa orang-orang menyalahkan saya karena menerima uang dari para pendeta itu. Saya tidak pernah meminta.

Seperti biasa saya pergi ke Yerusalem untuk membeli perbekalan makan kami. Saya didatangi para pendeta yang meminta saya mencium orang yang paling saya hormati di antara dua belas laki-laki di dalam kelompok setibanya nanti dari Yerusalem. Jelaslah, saya mencium laki-laki itu. Saya sangat menghormatinya. Tak perlu diberi uangpun saya akan senang hati mencium laki-laki yang sudah saya anggap abang sendiri itu. Saya bahkan tidak perlu uang dari para pendeta itu. Untuk apa? Saya tidak perlu kemewahan. Bisa terus bersama laki-laki itu saja sudah merupakan kebahagiaan buat saya.

Jadi sungguh saya tidak pernah menyangka jika ciuman saya membawa petaka bagi lelaki yang saya hormati itu. Saya tidak bermaksud mengkhianatinya. Justru sayalah yang dikhianati. Saya dijebak para pendeta itu. Saya cuma orang kampung yang tidak mengerti politik. Para pendeta itu seumuran ayah saya, dan saya ingat salah satu dari mereka dulu yang mendoakan saya waktu saya hendak disunat. Para pendeta itu juga yang dulu mendoakan kambing domba ayah saya supaya bertambah banyak dan sehat. Jadi, saya tidak menyangka akan seperti ini.

Saya tidak berusaha membela diri. Karena bagaimanapun, sayalah orang yang paling kehilangan atas matinya laki-laki bijak itu. Laki-laki itu telah begitu baik mempercayakan saya memegang uangnya. Laki-laki itu pula yang menjadi orang pertama dan satu-satunya yang mau mencuci kaki bau saya.

Saya juga merasa kehilangan, bahkan jauh lebih besar dari kalian semua.

(beberapa jam kemudian, Yudas ditemukan tewas bunuh diri)


Pembelaan Yudas IskariotWhere stories live. Discover now