Aku Membunuh Adikku

36 1 0
                                    

Menjadi anak tunggal merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagiku. Aku ingat sejak aku bayi hingga berumur sepuluh tahun, aku selalu menjadi pusat perhatian di rumah. Apapun yang aku lakukan entah itu mengompol, membuang-buang makanan, mengotori rumah, pipis di sofa, bahkan merusak barang-barang berharga milik ayah dan ibuku, aku tidak pernah dimarahi, bahkan ayah dan ibuku selalu tertawa melihat semua tingkahku. Aku berpikir, inilah kado terindah dari Tuhan dalam hidupku. Aku disayangi secara luar biasa oleh ayah dan ibuku.

Aku ingat, sewaktu aku kecil ayah dan ibuku sering membawaku ke sebuah taman yang sangat indah. Kami piknik di sana. Ibu selalu membuatkanku kue yang sangat enak, yang bahkan ayahku tidak boleh mencicipinya kalau tidak kuijinkan."Itu buat anakmu, bukan untukmu" begitu Ibu selalu bilang tiap kali ayah mencoba mengambil kue coklatku.

Tapi semua keindahan itu tiba-tiba sirna. Aku ingat suatu kali dalam piknik kami, ibu tiba-tiba mengeluh pusing dan mual. Aku tidak mengerti waktu itu. Waktu itu aku baru berusia sembilan tahun dan ayah bilang kalau aku akan segera mempunyai adik. Kata ayah ibu hamil dan di dalam perutnya ada adikku. Ah, aku tidak pernah ingin punya adik. Aku tidak rela kue coklatku harus kubagi dengan adikku. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku hanya anak kecil berumur sembilan tahun. Aku cuma ingin ibuku segera sehat, tidak sering pusing dan mual lagi. Kasian ibu. Kata ayah, ibu akan berhenti pusing dan mual jika adikku yang di dalam perut ibu sudah keluar. Baiklah kalau begitu, cepatlah keluar hai adik, jangan terus sakiti ibuku.

Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Ibu melahirkan adikku. Waktu itu umurku sepuluh tahun. Adikku berkulit putih kemerahan dan terlihat sangat lemah. Apa yang kutakutkan benar-benar terjadi sekarang. Tiba-tiba aku kehilangan perhatian dari ayah dan ibuku. Sekarang adikku menjadi pusat perhatian di rumah. Aku merasa kesepian. Setiap kali ayah pulang bekerja, pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulutnya adalah adik adik dan adik. Gimana adik hari ini? Minum susunya banyak tidak? Cengeng tidak? selalu begitu. Ayah seolah melupakan aku. Aku bahkan dimarahi ketika tidak sengaja menumpahkan segelas susu ke atas sofa. Aku benci adikku. Ini semua gara-gara dia. Dia telah mencuri ayah dan ibuku.

Adikku bertambah besar, begitu juga aku. Walaupun aku tidak begitu menyukai dia, sebagai kakak aku selalu berusaha bersikap baik. Sekarang aku selalu membuat kue coklatku sendiri. Ibu tak pernah lagi membuatkanku kue coklat, karena sekarang kue favoritku itu selalu dibikin untuk adikku. Adikku itu bahkan tak pernah membiarkanku mencicipi kue buatan ibu itu. Dia menghabiskan semuanya sendiri sambil sesekali menyeringai mengolokku. Bagaimanapun dia adikku, aku harus sabar.

Waktu berlalu, aku tidak pernah peduli lagi apakah ibu membuatkanku kue coklat atau tidak. Sekarang aku sudah bekerja. Aku meneruskan usaha ayah. Ya, ayah punya ladang yang sangat luas, dan sekarang setelah aku dewasa akulah yang mengurus ladang dan kebun kami. Aku bekerja dari pagi hingga sore setiap hari. Aku mengolah tanah di ladang kami menjadi sangat subur untuk dapat ditanami. Oya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Kain, aku sekarang berumur 28 tahun dan adikku bernama Habel, sepuluh tahun lebih muda dariku.

Sepuluh tahun sudah aku mengelola sawah dan ladang keluarga kami. Hasilnya selalu baik. Bahkan aku berani bilang bahwa hasil ladang kami jauh lebih baik dari hasil ladang siapapun dimanapun di dunia ini. Aku mengerjakan semuanya dengan sepenuh hatiku. Waktu itu ayah pernah bilang, jika saatnya tiba, aku harus mempersembahkan hasil ladangku itu kepada Tuhan. Aku bersemangat mendengar itu. Dalam hatiku aku bertekad akan memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Aku akan mencangkul lebih dalam lagi supaya tanah kami menjadi gembur, aku tak peduli telapak tanganku lecet dan berdarah sewaktu mencangkul, aku berjanji akan memberikan yang terbaik kepada Tuhanku.

Adikku Habel meneruskan usaha ayah yang lain menggembalakan kambing domba. Dia pemalas. Seringkali dia kedapatan tertidur di bawah pohon sewaktu menggembalakan domba. Kemana-mana dia selalu membawa suling bambunya. Dia membiarkan kambing domba itu makan rumput sementara dia dengan santai bermain suling sampai akhirnya ketiduran. Ibu selalu membelanya tiap kali ayah menegurnya supaya lebih serius menggembalakan kambing domba kami. Ibu bilang dia masih kecil. Masih kecil apanya? Dia sudah 18 tahun. Kumisnya bahkan lebih lebat dari aku!

Terserah dialah, aku ga peduli. Yang ada di kepalaku sekarang adalah bagaimana agar hasil panen nanti bagus dan aku mendapatkan hasil terbaik untuk kupersembahkan kepada Tuhan. Kata ayah, waktunya sebulan lagi. Tepat saat aku akan memanen hasil kerja kerasku selama ini. Aku mau membuat Tuhan bangga akan kerja kerasku. Aku melihat kedua telapak tanganku yang kapalan karena sering mencangkul. Aku tersenyum. Semua kerja keras ini akan terbayar saat Tuhan menyukai persembahanku nanti.

Saat itu akhirnya tiba. Ayah dan Ibu menyuruh aku dan adikku membawa persembahan kami ke atas bukit di belakang rumah. Aku telah bangun dari subuh dan menyiapkan persembahanku. Aku membawa sayur-sayuran dan buah-buahan yang paling segar dan ranum. Aku membawa gandum terbaik yang pernah ada. Aku menatap bangga semua persembahanku itu. Aku telah menghasilkan sayuran dan buah-buahan terbaik yang pernah ada di dunia ini. Semuanya hasil dari kerja keras kedua tanganku ini. Hari ini, aku akan membuat Tuhan tersenyum.

Adikku Habel bangun kesiangan. Dia dibangunkan ibuku yang sejak subuh sudah memilihkan domba yang harus dipersembahkan Habel kepada Tuhan. Adikku itu bahkan tidak tau cara memilih domba yang bagus. Ibuku yang memilihkannya untuk dia. Aku melihat domba itu, domba tambun yang sangat sehat, gemuk, bersih, dan berbulu putih lebat. Cantik sekali domba ini. Ibuku memang pintar memilih ternak yang baik.

Jadi begitulah, aku dan adikku berjalan bersama menuju puncak bukit membawa persembahan kami. Aku membawa sayur dan buah-buahan terbaik hasil kerja kerasku dan Habel membawa seekor domba cantik pilihan ibuku. Aku memanggul semua sayuran itu di bahuku, sementara adikku dengan santai menuntun domba cantik itu dengan seutas tali, yang lagi-lagi telah disiapkan oleh ibu. Ibuku sayang, mengapa kau tidak lagi mencintaiku seperti dulu? Aku juga masih mau merasakan kue coklat buatanmu.

Kami tiba di atas bukit. Aku menaruh semua sayuran dan buah-buahan di atas meja persembahan. Kata ayah kami harus membakar persembahan kami dan Tuhan akan senang menerimanya. Segera setelah semua sayuran dan buah-buahan itu aku taruh di atas meja aku mengambil korek api dan bersiap membakarnya. Namun angin bertiup kencang waktu itu. Tiap kali aku hendak menyalakan api, angin meniup korekku dan memadamkan apinya. Sudah hampir habis korek di tanganku. Sial, angin tidak bersahabat padaku. Aku tidak bisa membakar korban persembahanku.

Aku melirik kepada adikku. Dia menaruh domba cantik itu di atas meja persembahan. Domba itu memang cantik. Habel mengeluarkan pisau tajam dari balik bajunya. "Ya Tuhan, terimalah persembahanku hasil dari kerja kerasku selama ini, hanya untukMu" begitu adikku berkata seraya menyembelih leher domba cantik itu.

Huh! Kerja keras apa? Dia bahkan tidak pernah becus mengurus domba-domba itu. Kalau saja ibu tidak membantunya, mana mungkin domba-domba itu sehat dan gemuk?

Pada saat itu angin sudah tidak terlalu kencang. Aku melihat adikku mengeluarkan sebotol minyak dari sakunya dan menumpahkannya ke tubuh domba persembahannya itu. Dia melirikku seolah tersenyum mengejek. Seakan-akan berkata, pakai minyak begoo... Dan tak lama, dia berhasil membakar domba cantik itu. "Terimakasih ya Tuhan, Kau menerima kerja kerasku ini. Terpujilah namaMu"

Dia menari-nari, berteriak-teriak, bernyanyi-nyanyi mengelilingi meja persembahannya. Dia bahkan tidak memperdulikanku yang belum berhasil membakar persembahanku. Aku melihat tanganku. Korekku bahkan sudah habis. Aku tak sudi meminjam korek dan minyak adikku. Aku tau pasti dia akan menolak meminjamkannya. Aku sedih, marah, kecewa. Kenapa semua tidak adil kepadaku? Aku bahkan tidak berhasil mempersembahkan hasil kerja kerasku kepada Tuhan yang sangat kucintai itu. Hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun yang kuperoleh dengan membekaskan luka di telapak tanganku seakan teronggok sia-sia di atas meja persembahan itu.

Aku melihat adikku terus menari. Aku menangis. Adikku terus bernyanyi-nyanyi seakan mengejek kesialanku. Aku tidak tahan lagi. Sudah cukup! Aku harus mengakhiri semua ini. Aku mengambil cangkul yang biasa kupakai membajak sawah. Aku melihat adikku terus bernyanyi berputar-putar di meja persembahannya. Bau daging terbakar mulai menusuk hidung. Aku mengangkat cangkulku, mengarahkannya ke kepala adikku. BRAAAAK!!! Aku hantam sekuat tenaga cangkul itu ke kepala adikku. "Diamlah!! Aku muak dengan ocehanmu!!"

Aku anak tunggal yang ditinggalkan. Aku Kain. Aku telah membunuh adikku...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 12, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pembelaan Yudas IskariotWhere stories live. Discover now