Kepada Bunga Yang Mekar di Musim Semi,
Selamat pagi, Kim Namjoon. Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja? Bagaimana keadaan di sana? Apakah kau dapat menemukan kepik polkadot yang kau cari?
Aku masih ingat. Waktu kita menginjak tahun ketujuh di dunia, kau merangkul tubuh mungilku dari belakang. Senyummu manis bagai madu dan kau berbisik di telingaku, "Selamat ulang tahun, Bocah."
Padahal, hari itu adalah ulang tahunmu juga.
Dengan topi kerucut polkadot yang tersemat di atas kepalamu, kau mengecup pipiku. Saat itu, aku malu sekali. Aku menghindarimu di kemudian hari saking malunya. Ayah dan ibu juga bertanya padaku mengapa aku lebih memilih untuk diantar ke sekolah dengan mobil ketimbang bersepeda denganmu yang waktu itu sudah bosan menunggu di depan rumah.
Waktu itu, aku menjawab, "Tidak mau. Namjoon nakal."
Di pagi hari yang agak mendung, aku melihatmu melalui kaca mobil. Dengan sepeda usangmu, kau melaju cepat mengejar mobilku. Aku panik, dan tanpa pikir panjang aku menyuruh ayah untuk mempercepat laju. Ayah yang tak tahu bahwa kau berada di belakang mobil berakhir setuju. Kau jauh tertinggal di belakang.
Sampai di sekolah, setiap dariku berubah cemas. Raut wajah, hati, dan gerak-gerik berkata bahwa aku khawatir padamu. Jadi, aku menunggu di depan sekolah. Tepatnya di teras dekat aula yang sering kita tempati untuk makan saat jam istirahat.
Kau tidak terlambat masuk sekolah. Tapi, aku mendapati dirimu basah kuyup ketika menginjakkan kaki di depanku.
Namjoon, kau kehujanan pagi itu dan kau berakhir diejek anak-anak sekelas, kata mereka kau tak tahu malu.
Aku juga masih ingat. Waktu itu, kita berdua masuk ke sekolah menengah pertama bersama. Namun, kita dipisah. Kau berada di kelas akselerasi, sedangkan aku di kelas biasa.
Dua minggu setelahnya, aku menghubungimu lewat telepon genggam yang ayah belikan ketika liburan. Aku berkisah tentang kelasku yang asyik. Kemudian, aku bicara tentang teman sebangku laki-lakiku yang kusukai. Aku ingat, aku mendengar suaramu yang mendengkus lalu bicara ketus.
Katamu, "Na, maaf aku harus belajar malam ini. Besok, aku akan mengerjakan ulangan matematika. Kututup, ya, teleponnya."
Sedetik kemudian, kau memutus teleponnya. Bahkan, aku belum mengeluarkan sepatah katapun padamu waktu itu.
Kau marah, dan aku baru tahu.
Lalu, ada hal yang masih tergantung di benak hingga sekarang. Itu hari kelulusanmu.
Pukul tiga, aku masih terduduk di kelas. Guru belum usai bicara dan aku sudah panik setengah mati. Acara kelulusanmu mulai dua jam yang lalu dan aku masih diam menanti di bangkuku.
Tatkala guru selesai bicara dan nyanyian merdu berbunyi, aku langsung mengambil langkah penuh gesa-gesa ke aula. Kendati berusaha, tetap saja celaka. Semua telah usai. Acaramu sudah selesai.
Kau, si murid pertama di kelas akselerasi, menerima satu buket bunga. Dan, itu bukan dariku.
Setelah lulus, kau menerima beasiswa di Jepang dan tinggal di sana bersama Bibi Kim. Berdua. Tanpa aku.
Aku di sini. Masih di sini, hingga sekarang.
Aku yang menjauhimu ketika malu, yang menceritakan padamu tentang pria yang kusukai padahal kau tak mau, yang melewatkan kesempatan memberi setangkai mawar yang berarti bagimu, menyesal seumur hidupku.
Maaf karena telah menghindarimu, maaf karena pura-pura tak tahu bahwa aku cinta pertamamu, maaf karena sudah melewatkan acara yang penting bagimu, dan maaf karena melafalkan begitu banyak maaf.
Aku, cinta pertama dan terakhirmu, diradang rindu.
Aku merindukanmu.
Dan, yang dapat kulakukan untuk mengirim kata padamu adalah dengan menerbangkan surat ini bersama balon merah berpolkadot hitam.
Kim Namjoon, inikah dirimu?
Tamat.
Please send lots of love to our leader. He's a great leader and great in person too. Let's celebrate his birthday together.
P.s. Maaf karena bikin Namjoon udah ga ada di cerita ini :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Balon Merah Berpolkadot Hitam Yang Kuterbangkan Untukmu
Fiksi PenggemarTak pernah terbayang pada kepalaku bahwa surat ini akan sampai lalu cium bibirmu. · for our leader's bday