24 - Perjalanan Tanpa Akhir

1.7K 292 48
                                    

Rasanya agak susah menghilangkan kesan canggung setelah mereka akhirnya kembali berduaan.

Gara-gara acara—euh—ngambeknya Nai yang disertai dengan kabur-kabur manja ala film India itu, Sai jadi buru-buru undur diri walaupun anak-anak asuhnya itu tengah gembira-gembiranya karena didatangi Abang terkasih. Seturunnya dari aula, pemuda itu menemukan Nai lagi duduk di kursi taman, di bawah pohon rindang. Perempuan itu tampak sedikit lebih baik ketimbang sebelumnya. Mungkin dia telah menenangkan diri. Sai langsung mengisi tempat kosong di sebelahnya tanpa tahu harus mulai berkata apa.

Hening dan hening....

Sai: "...." (Awkward.)

Nai: "...." (Double awkward!)

Embus Angin dan Rumput Yang Bergoyang pun berkata: "Plis dong ah, nggak usah segala drama gagu-gaguan gitu... nggak tamat-tamat ntar nih cerita. Basi ah...!"

Seakan-akan mendengar suara yang tentu saja tidak nyata itu, Sai memilih menjadi gentle. "Kamu kenapa sih, Nai—eh?" Kok gue jadi kamu-kamuan gini?! "Euh... gue cocok nggak ngomong aku-kamu gitu? Soalnya lidah kayak keserimpet aja rasanya."

"Bodo."

"Ck, aku kan cuma nyoba biar lebih manis gitu kayak cowok-cowok lain...."

"Bodo!"

"Kamunya malah ngambek terus... serba salah akutu jadinya."

"Sai, stop!" Rupanya sedari tadi Nai menahan tawa. "Aneh tau nggak denger cowok setan kayak lo pake aku-kamu gitu... so not you."

Sai memanfaatkan perubahan suasana hati Nai tersebut. "Trus biar nggak aneh gimana? Pake saya-kamu aja kayak Rangga sama Cinta? Oke. Nai, saya minta maaf ya udah bikin kamu sedih, janji nggak bakal begitu lagi. Saya sayang sama kamu. Banget."

"Eeewwwhhh...." Nai menutup telinganya dengan tangan. "Jijik, jijik, jijik!"

"Yang penting lo nggak baper lagi kan jadinya." Sai merangkul bahu Nai sambil tertawa.

Tak berapa lama, mereka memutuskan untuk betul-betul pamit dari sana. Anak-anak asuh dan para guru berkumpul di luar, melepas kepergian mereka. Anehnya, anak-anak itu tak satupun yang melontarkan permintaan supaya Sai dan Nai datang lagi lain waktu, seperti pada kunjungan mereka sebelumnya. Mungkin guru-guru itu sudah memberi mereka pengertian sekaligus larangan untuk berkata demikian.

Perpisahan itu dipenuhi senyum yang dipaksakan dan air mata yang tertahan. Namun segalanya memang harus terjadi.

"Sai, gue tunggu di luar gerbang ya." Nai sengaja lebih dulu beringsut, takut dia jadi terbawa suasana dan kembali mengundang awan hitam melingkupi dirinya lagi. Cukup sudah semua itu.

"Oke."

Sementara Sai masih dipeluki satu per satu anak asuhnya. Dan setelah selesai, dia pergi dari sana dan mengucapkan selamat tinggal.

Sebelum benar-benar berbalik menuju gerbang, dia menatap beberapa temannya yang adalah guru di sana—para mantan narapidana yang direkrut dan ditugaskan Sai mendidik anak-anak asuhnya. Seraya tersenyum tipis, pemuda itu mengedipkan sebelah mata pada mereka.

*

Langit Bogor memang suka cengeng, kayak Nai. Padahal belum resmi masuk ke musim penghujan dan sekarang juga masih pukul 12.46, tapi rintik-rintik air sudah mulai turun, membuat layar sentuh ponsel Nai sedikit basah.

"Driver-nya nggak jauh dari sini kok," kata Nai seusai memesan taksi online. "Kita langsung balik aja atau gimana?"

"Balik? Enggaklah, baliknya ntar malem aja biar dapet feel-nya pas gue meluk-meluk lo di kereta nanti pas pulang." Kayak dulu, waktu pertama kali ke Bilik Pemimpi berduaan itu.

Bed AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang