Part 4

514 7 0
                                    

Ketika Cinta Harus Bersabar
By Nurlaila Zahra

Semuanya sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan walimatul ursy-nya akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah ditentukan. Dan mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat alat shalat, satu buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al Ikhlas.

Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang macam-macam.
Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
”Apa ini Ma?” Tanyaku heran.
”Surat dari calon suamimu” Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa sendiri menerima surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh Mama.
”Makasih ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku” Ucapku sedikit serak.
”Iya. Mama doakan supaya kamu selalu bahagia” Sahut Mama sambil membelai kepalaku yang masih tertutup jilbab. Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat membukanya. Tapi aku harus mencuci dulu semua piring-piring kotor didapur.
Setelah selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti harta yang paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin, Yusuf bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku menerima surat darinya. Lebih tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku. Oh...aku jadi romantis begini. Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini memang sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan surat itu. Isinya,
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Kepada yang terhormat
Dinda Altharina Puteri
Di tempat

Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak orang yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang pecundang dan pengecut karena telah menyakiti perasaanmu.
Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang sudah sangat lemah, aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku masuk rumah sakit karena aku menolak permintaannya.
Jadi aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang tua kita masing-masing. Aku tahu segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi untuk hal ini.
Aku merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang Islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus membohongi banyak orang atas kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’ lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus ’nama’ itu dan berusaha menggantinya dengan ’namamu’.
Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak mau mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak mencintaimu.
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan cintaku.
Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku. Afwan
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Ketika Cinta Harus BersabarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang