BESOK, besok, besoknya, dan seminggu berturut-turut, aku tetap melihatnya berdiri congkak di pinggiran sungai itu. Kalau bukan aku yang tiba lebih dulu, dia siap di sana; menyambutku dengan muka tanpa senyuman.
"Kenapa kau terus-menerus datang ke mari?"
"Memangnya ada peraturan tertulis yang mengatakan kalau aku tidak boleh pergi ke sini?"
"Tidak ada. Tapi--"
"Tapi apa? Kau merasa pinggiran sungai ini milikmu karena kau yang menyadarinya lebih dulu? Kalau begitu kasusnya, aku lebih berhak karena aku sering datang ke sini bahkan sebelum kau menemukannya."
Aku terpana pada penjelasan lebar itu, dan bersiul, "Untuk ukuran laki-laki cebol sepertimu ternyata mulutmu berisik juga."
Alisnya bertaut karena tersinggung, "Siapa yang kaupanggil cebol ...."
"Entahlah." Aku membuang muka ke samping karena tatapan orang itu lama-kelamaan terasa menusuk. "Anggap saja barusan aku bicara dengan angin."
Dia berkacak pinggang. "Siapa yang memberitahumu untuk berpaling saat bicara dengan seseorang? Dasar tidak sopan."
Kata-kata itu sedikit mengusikku sehingga aku sengaja membalas dengan sarkas; membuatnya jelas, perlahan-lahan. "Baiklah. Aku mengalah. Aku memang tidak pernah belajar tata krama sejak balita jadi mohon bantuannya, Tuan yang Terhormat." Dia tampak tersinggung.
Mulutnya mencebik dan cara kecilnya melotot justru ingin membuatku tertawa terpingkal-pingkal karena semua itu tidak cocok sekali pun untuknya. Sebelum dia menyalahpahamiku lebih banyak, aku merentangkan tangan; menawarkan perjanjian damai tidak tertulis. Kami bisa berbagi semenjak bukit itu tidak diklaim oleh siapa pun.
"Apa yang kaupikul di belakangmu?" Aku mulai berbasa-basi dan dia membuang napas; mungkin kesal. "Memangnya kau tidak bisa tebak dengan melihat bentuknya?"
"Gitar?"
Dia duduk di atas rumput tanpa ragu, membuka tas yang dipikulnya tadi dan mengeluarkan sebuah gitar. Aku turut duduk di sebelahnya, dan dia menyemburku cepat-cepat: "Mau apa?"
"Lihat saja dilarang, ya."
"Boleh; selama kau tidak menggangguku. Sekarang diam sebab aku butuh konsentrasi."
Aku bergestur mengunci mulut. Setelah yakin aku dapat memegang janji, dia mengambil nota kecil dan pensil; mencoret-coret dengan berisik. Gitar tampak besar di pangkuannya. Dia memetik senar dan tampak larut dalam semesta sarat harmoni; seakan-akan ada tirai transparan yang membatasi kami. Dia terus bermain, kali ini lagunya sedikit bernuansa sendu. Aku tidak menyangka permainannya enak didengar.
"Apa kau selalu datang hanya untuk bermain gitar?"
Dia mengalihkan diri sejenak dari nota dan gitarnya, menatapku, "Berusaha mengorek kehidupan orang yang tidak kaukenal bisa dikenai dakwaan undang-undang privasi, kautahu."
Aku kehilangan kata-kata sampai lupa berkedip. "Baru pertama kali aku menemukan orang seserius dirimu." kataku. "Apa kau selalu hidup seperti itu?"
"Kalau begitu biasakan karena aku punya firasat kau bakal lebih sering ke sini besok-besok."
"Bagaimana mungkin aku melewatkan kesempatan mendengarkan konser kecil gratis dari jenius sepertimu?"
Dia mengusap tengkuknya untuk rasa malu dari pujian yang tiba-tiba. "Kau berlebihan."
an:
i'm realize that the update's too slow beyond my own expectation, so i won't make any excuses and let you guys enjoy this chapter instead. do leave reviews to have me know whether it satisfying or nah.
KAMU SEDANG MEMBACA
STERNE | Soonhoon
Fanfiction[NV] Soonyoung putus asa pada hidup. Jihoon membangun harapan baru baginya. Ketika jalan untuk bersinar terbentang lebar di depan Soonyoung, ia dihadapkan pada pilihan untuk melepas Jihoon di saat bersamaan. "Aku memang menyukai bintang. Tapi aku pa...