ENAM

24.1K 1.5K 263
                                    


Ziva membawa keranjang berisi setumpuk pakaian yang sudah disetrika dan dilipat rapi menuju ke lantai atas.  Hari ini ia mengerjakan tugasnya dengan penuh semangat.  Entah apa yang membuatnya menjadi sesemangat itu.  Yang jelas hatinya diisi dengan keceriaan yang dia sendiri tidak tahu apa alasannya. 

Sejak pagi tadi, Ziva tampak sangat ceria.  Dengan langkah lebar ia memasuki kamar Prity dan meletakkan keranjang ke lantai, lalu menyusun baju setrikaan ke lemari.  Saat ia menoleh untuk mengambil tumpukan pakaian ke dua kalinya, ia terkejut melihat susunan pakaian di keranjang sduah berantakan.  Beberapa helai pakaian berhamburan keluar dari keranjang. 

Ziva mendapati Afiqa melompat-lompat sambil berlari kesana kemari membawa sehelai baju tidur milik Priy yang di ujung lengannya ada rendanya.  Bocah itu mmeegangi renda sambil berteriak kegirangan seperti main laying-layang.  Seingat Ziva, pakaian tidur berenda itu ia susun di lipatan agak bawah.  Afiqa menarik baju itu begitu saja hingga yang di atasnya berhamburan tak tentu arah.

“Afiqa!  Balikin bajunya!” pinta Ziva dengan gigi menggemeletuk namun bibirnya tersenyum lebar.  Ia berusaha menampilkan ekspresi sebaik mungkin meski giginya mengerat.

Afiqa tidak menghiraukan ucapan Ziva.  Ia terus berlari kesana kemari sambil tertawa girang.

Nih bocah nggak tau apa ya gue ngerjain pekerjaan ini setengah mati.  Dia enak aja main tarik baju sampe jadi berantakan gini.  Ya Tuhan, beri aaku kesabaran.  Ziva menggeram dalam hati.

“Lho… Ini kenapa ada baju berantakan begini di kamar saya?” Prity masuk ke kamar membuat Ziva terperanjat kaget.

Gawat!  Bisa berabe kalo gue diomelin.  Belum kelar urusan dengan tuyul kecil, emaknya udah nongol.  Batin Ziva gugup. 

“Afiqa narik baju di lipatan yang udah saya susun, jadinya berantakan gini,” jelas Ziva.

“Ya udahlah, buruan kamu susun ke lemari.  Yang berantakan itu dilipat lagi aja.  Trus susunannya jangan sampe berantakan, perhatiin dimana tarok pakaian yang seharusnya.  Untuk baju-baju yang bermodel, gantung aja di kamar sebelah.  Tau kan kamar tempat baju-baju saya?”

Ziva mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai dengan pekerjaannya itu, ia kemudian menuju ke kamar sebelah, tepat dimana ruangan dipenuhi pakaian milik Prity yang tergantung rapi.  Wow…  Mirip seperti toko baju.   

Ziva menuju ke kamar Ammar kemudian menyusun pakaian di lemari yang terpajang.  Tidak banyak pakaian pria itu.  Hanya ada satu lemari empat pintu.  Dua pintu diisi pakaian yang dilipat rapi, dua pintu lainnya diisi pakaian yang menggantung di hanger.

Selesai dengan pekerjaannya, pandangan Ziva kini tertuju ke beberapa parfum yang tersusun di tempatnya.  Ziva tersenyum menatap parfum yang merknya sama persis dengan yang dia miliki dulu.  Sekarang hanya tinggal botolnya doang.  Ziva menyemprotkan parfum tersebut beberapa kali ke tubuhnya.  Dengan begitu, aroma wangi yang sama akan tetap tercium dari tubuhnya saat ia berada di kampus nanti.

Ziva meletakkan parfum ke asalnya.  Mendadak senyum mZiva lenyap seketika saat pandangannya tertuju ke cermin di depan mukanya dan ia melihat sosok pria di dalam cermin tersebut. 

Waduh… Sejak kapan Ammar ada di belakangnya?  Apakah pria itu memperhatikannya sejak tadi?  Apa komentar Ammar jika tahu Ziva main semprot parfum seenak jidatnya?  Ziva menggigit bibir, tak berani menoleh.

Pelan tangannya menjulur ke bawah mengambil keranjang yang ia letakkan di dekat kakinya, lalu berjalan menuju pintu untuk segera keluar.

“Ziva, tunggu!”

Mampos!  Malu malu malu!  Ziva memejamkan mata sebentar untuk mengatur nafas.  Kemudian memutar tubuh delapan puluh derajat hingga kini berhadapan dengan Ammar yang sudah berdiri di dekatnya.

Ziva membeku di tempat menatap Ammar yang hanya mengenakan handuk membelit pinggang pria itu.  Tubuh sick pack yang ada di hadapannya tak lantas membuat Ziva memperhatikannya.  Ia lebih memilih menatap wajah Ammar saja, jangan yang lain.  Tetes-tetes air dari rambut membasahi pelipis pria itu.  Aroma sabun dan sampo menyeruak ke rongga pernafasan Ziva.

“Ambilah!” Ammar menyerahkan botol parfum kepada Ziva.

Yiaaak… Berarti bener gue kepergok dong pas lagi nyemprot-nyemprot tadi.  Suer, malu banget gue.  Ini muka mau ditarok mana?  Ziva membatin.  Namun tangannya tetap menjulur maju menerima botol yang ditawarkan.  Rugi kalau tidak diterima.  Saat ini ia butuh barang-barang mahal tapi free. 

“Makasih,” ucap Ziva kemudian lari ngacir keluar kamar.  Untung saja Ammar tidak menghentikan langkahnya lagi. 

Ziva menuju  kamar mengambil tas lalu bergegas keluar rumah.  Ia langsung masuk ke taksi online yang sudah menunggu.  Uang yang diberikan Ibunya masih cukup untuk biaya pulang pergi ke kampus minimal naik taksi online.  Ia tidak mempergunakan uang itu untuk membeli pakaian, bedak, sabun, parfum atau barang-barang mahal seperti yang ia butuhkan dulu.  Sekarang ia hanya memakai sampo sachet seribuan dan sabun tiga ribuan demi berhemat supaya bisa naik taksi online.  Mana mungkin ia membiarkan dirinya naik angkot, reputasinya tentu bisa jatuh.

Satu hal yang membuatnya merasa tidak nyaman adalah tatapan mata teman-teman kampusnya yang penuh selidik saat menanyai dimana mobil yang selama ini ia gunakan untuk pergi ke kampus hingga kini taksi online menggantikan mobil pribadinya?  Ia hanya bisa menjawab mobilnya sedang di bengkel.  Lalu sampai kapan mobilnya terus berada di bengkel?  Entah sampai kapan ia sanggup menutupi kenyataan.

Mungkin ibunya akan menegurnya bila tahu ia menutupi kenyataan di hadapan teman-temannya, namun ia masih belum bisa melepas gengsi.  Bukan hanya tidak berbaju saja yang membuatnya malu, tapi jatuh miskin juga menjadi salah satu alasan untuknya merasa malu.  Ziva bahkan tidak mau menjual barang-barang elit miliknya, seperti ponsel, laptop, sederet sandal mahal, tas-tas cantik, serta barang-barang lainnya.  Ia tetap memepertahankan barang-barangnya itu demi menjaga penampilan supaya tetap terlihat elit meski sesungguhnya sudah menyandang status miskin.

***

“Va, ada yang nungguin lo, tuh,” ujar salah seorang teman Ziva saat kelas baru saja usai dan mereka sedang berjalan menuju keluar gedung kampus. 

Ziva mengikuti arah pandang temannya dan tercekat menatap sosok pria duduk manis di dalam mobil.  Duuh… Ngapain tuan muda ke kampus?  Mampus gue kalo ketahuan ama temen-temen doski tuh majikan gue, bisa ketahuan nih kedok gue yang sekarng jadi pembokat.  Ziva menggigit bibir bawah.  Kemudian ia balik badan memilih kabur.  Namun baru dua langkah, ia mendengar teriakan yang arahnya dari belakang, tak lain sudara Ammar.

“Ziva!”

Yassalam… Dia manggil gue lagi.  Jangan sampe gue manggil dia dengan sebutan Tuan Muda, bisa bocor gue dibuli orang sekampus.  Ziva geleng-geleng kepala.  Kemudian terpaksa menoleh dan melempar senyum kaku.

“Y..Ya?”  Ziva mengernyit melihat Ammra turun dari mobil.  Ziva buru-buru mendekati ammar sebelum pria itu berjalan ke arahnya.  Dari pada Ammar yang nyamperin, mending Ziva yang nyamperin Ammar.

“Kok, kesini?” tanya Ziva.

“Udah selesai kelasnya?” Ammar balik tanya tanpa memperdulikan pertanyaan Ziva.

“Udah.”

“Ikut saya!”

“Kemana?”

“Kamu lupa?  Hari ini saya ada party dan kamu harus nemenin saya.”

“Oh… Iya.  Sekarang?”

Ammar tersenyum.  “Iya, sekarang.  Masak tahun depan?”

Ziva tersenyum lalu masuk ke mobil.

“Cieee…. Ziva dijemput pangeran nih yeee… Lusa kenalin ya, Va!” seru salah seorang teman Ziva yang melintas bersama rombongannya.

Ziva hanya tersenyum membelakangi Ammar.  Jangan sampai Ammar melihatnya tersenyum saat sedang diledek teman-temannya dan menganggap Ammar adalah pangerannya.  Biarkan saja teman-temannya salah menduga, menganggap Ammar adalah kekasihnya.  Itung-itung, ia beruntung dengan anggapan itu.

Tbc

Apa rencana Ammar bawa Ziva ke party?

Married With Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang