Matahari identik dengan sesuatu yang cerah, bersinar, panas, membara. Pun dengan gambaran dirinya yang jadi penakluk hati.Aku bertemu dengannya di bangku SMA, dia setahun lebih tua.
Saat itu panas terik, upacara senin pagi selalu kubenci. Aku menengadah dan mendelik matahari, meminta sedikit mengurangi kadar panasnya. Tapi ia terlalu terang benderang, kilaunya membuatku menyipitkan mata.
Saat itu, kulihat laki-laki itu di hadapan. Sedang tersenyum, atau... entahlah, sinar ultraviolet mengaburkan sebagian bayangannya. Hanya saja aku mendengar saat ia berkata.
"Kamu baik-baik aja?" cemasnya.
Awalnya aku tidak mengerti maksud perkataannya, namun darah yang mengucur dari hidungku cukup menjawab sudah. Aku menggerakkan tanganku untuk menutupi hidung yang keluar darah segar. Dan orang itu dengan segera membawaku keluar dari barisan. Tujuan kami adalah UKS. Aku baru tahu belakangan kalau laki-laki ini adalah anggota PMR.
"Sini duduklah sambil condongkan badanmu," laki-laki itu memberi perintah. Aku menurut. "Buka mulutmu supaya darah ga menutup jalan napas." Lagi, aku menurutinya.
Kemudian laki-laki itu menekan hidungku di bawah tulang hidung pada bagian ujung sampai kira-kira lima menit. Laki-laki itu mengambil kain yang ia basahi, lalu menempelkan pada hidung dan mukaku.
"Untuk mempersempit pembuluh darah," katanya dengan senyum merekah bak matahari.
Aku tersipu malu mendapat senyum macam itu. Pertama kalinya dari seorang laki-laki selain ayah dan kakakku. Laki-laki itu nampaknya paham dengan gelagat anehku, ia sedikit menjauh.
"Makasih, kak!" ucapku sekaligus memecah kecanggungan karena hanya kami yang berada di UKS ini.
"Sebenarnya aku memerhatikan kamu dari barisan belakang, kamu sempoyongan, gesturmu juga kelihatan gak nyaman. Benar aja, kamu mimisan," jujur laki-laki itu.
Mendengarnya aku makin tersipu, "Iya, untung kakak cepat tanggap."
"Kamu gak suka upacara senin?" tanyanya.
Aku menggeleng, "Aku ga suka matahari." Laki-laki itu menaikan sebelah alisnya. "Dari kecil aku lemah sama sinar matahari. Kalau enggak pusing, ya bakal mimisan kayak tadi."
"Hmm... kamu jarang berjemur dong," sembur laki-laki itu untungnya dengan kekehan tawa hingga aku tahu ia sedang bercanda. "Ya, semua orang punya macam-macam hal yang disukai dan dibenci. Gak salah kok. Cuma, saranku... jangan berburuk sangka sama matahari. Dia punya banyak manfaat tanpa kamu sadari. Contohnya membantu proses fotosintesis, menghasilkan energi listrik, sebagai pengatur tata surya, juga... yang bantu ibu kita mengeringkan jemurannya." Di akhir kalimatnya aku terkekeh, sebab suara tawanya empuk dan memancingku untuk melakukan hal sama.
"Iya, kak! Matahari penting banget."
Laki-laki itu menepuk kepalaku pelan. Kemudian bangun dari duduknya.
"Kamu istirahat dulu ya, aku mau kembali ke lapangan. Kali aja ada yang mimisan lagi kayak kamu."
Laki-laki itu tahu bagaimana membuat bibirku melengkungkan senyum.
Aku selalu ingat pertemuan pertama kami. Dan itulah awal mula rasa sukaku pada laki-laki yang bernama Gusti. Ia memiliki pribadi yang hangat, keberadaannya selalu disukai bagi teman ataupun guru. Satu lagi yang istimewa darinya, senyumnya menyenangkan, cerah dan bersinar. Dan aku suka.
Untuk pertama kalinya, lewat laki-laki bernama Gusti, aku menyukai matahari. Sebab Gusti tak berbeda dengan matahari. Dia matahariku.
🍃
#30DWC
#30DWCjilid14
#day27
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovin' You [SUDAH TERBIT]
Short StoryHanya penggalan kisah yang habis satu part. Masih tentang cinta yang awam diceritakan manusia di bumi. Selamat datang. Selamat membaca.