Aku benci bulan. Karena saat aku kehilangan orang yang berarti, ia terang benderang seolah mengejek. Ia bulat penuh, berwarna kuning di langit yang gelap gulita. Hanya dia di atas sana. Tidak membantu atau menemaniku. Bulan bodoh, itu panggilku padanya. Sebab di purnama berikutnya, bulan selalu nampak. Membuatku lagi-lagi ingat orang yang dikasihi pergi. Melihatnya seolah memaksaku kembali pada adegan dimana hembus napasnya berhenti.
Aku jarang keluar malam hari. Jelas, aku tidak mau bertemu yang dibenci. Apalagi saat purnama menjelang, aku memilih untuk mengurung diri di kamar.
Kebetulan, malam ini purnama. Kupercepat kegiatan sebelum fajar menyingsing. Dan sialnya, kereta api yang akan kunaiki mengalami keterlambatan karena sebuah kecelakaan di ujung jalan sana.
Ukh!
Kalau aku memaksakan diri menunggu kereta, aku bisa bertemu si sialan itu. Aku tidak mau. Sengaja kukeluarkan kocek lebih dalam. Kupanggil taksi. Satu hari mengeluarkan uang lebih banyak tidak akan membuatku jatuh miskin, bukan?
"Taksi!" Tanganku memberi tanda pada si pengendara agar berhenti. Mobil berwarna biru muda dengan lampu di atasnya, tepat berdiri di hadapan. Serta merta aku masuk ke dalam jok belakang dan mulai menyamankan diri. Dalam satu tarikan napas, aku berhasil menyebutkan alamat rumahku dengan fasih. Taksi mulai berangkat.
Bagi siapapun, kentara sekali aku terlihat seolah terburu-buru. Pun dengan pengendara taksi yang memerhatikan gelagatku dari kaca tengah mobil. Sesekali melihat jam, kemudian melihat ke langit yang berubah temaram. Purnama mulai tercetak jelas di langit. Aku mulai gelisah.
"Kenapa Non, lagi mengejar sesuatu?" tanya pengendara taksi masih lewat lirikan mata ke kaca tengah mobil.
"Sebenarnya, iya!" jujurku.
"Mau kita ngebut, Non? Pegangan!"
Si pengendara taksi mulai tancap gas. Tangan dan kakinya ahli menjalankan mobil menari di jalanan yang terbilang sepi. Tubuhku terhempas ke jok belakang, dadaku kebas karena kecepatan yang tidak biasa. Mungkinkah orang ini pembalap?
"Kalau boleh tahu, apa yang bikin Non buru-buru?" tanyanya tanpa mengurangi kecepatan yang buat gigiku gemetrukan.
Hening sesaat. Aku sedang menimang antara mengabaikan pertanyaannya atau menjawab dengan jujur. Hingga aku mengambil sebuah keputusan.
"Bulan!" jawabku.
"Hah?"
"Aku tidak mau lihat bulan." Entah jawabanku tidak masuk akal atau suaraku terlalu pelan untuk ia tangkap. Laki-laki yang kutahu beriris mata cokelat tersebut terdiam cukup lama. Konsentrasinya jatuh pada jalanan juga persneling dan pedal gas.
Kami telah sampai di ujung gang, aku menyuruhnya belok kanan sampai tembok apartemenku kelihatan.
"Aku berhenti di sini," kataku.
Si pengendara taksi menghentikan laju kendaraan. Untunglah ia tahu cara berhenti yang benar dan aman, hingga badanku tidak harus terlonjak dari tempat duduk. Ia menoleh padaku dengan tatapan ambigu. Aku menganggap ada yang mau ia bicarakan, karena itulah aku memberi jeda saat keluar pintu mobil.
"Namaku Purnama!" katanya dengan suara tenang namun dominan. "Dalam keadaan bulan penuh seperti ini, aku dilahirkan. Makanya aku diberi nama Purnama."
Aku tidak tahu kemana arah bicaranya. Aku bergeming dan menatap iris matanya lebih dalam.
"Aku tidak tahu alasanmu membenci bulan, tapi ingat saja satu hal. Saat kamu membenci bulan atau tidak mau melihatnya, ada seorang anak yang dilahirkan dan keluarganya merasa senang," selorohnya dengan raut wajah yang damai.
Aku baru memperhatikan, pengendara itu punya wajah yang rupawan.
"Purnama berikutnya, aku akan datang ke sini lagi dan menemui Non. Kita lihat, apa Non masih terburu-buru seperti sekarang atau tidak." Ia tersenyum.
Kami berpisah dengan janji yang entah bisa ditepati atau tidak. Siapa yang tahu kalau dialah yang menyembuhkan kebencianku pada bulan. Yang kuingat hanya satu, sinar matanya mengalahkan cahaya bulan.
🍃
#30DWC
#30DWCjilid14
#day28
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovin' You [SUDAH TERBIT]
Historia CortaHanya penggalan kisah yang habis satu part. Masih tentang cinta yang awam diceritakan manusia di bumi. Selamat datang. Selamat membaca.