1

14.4K 1K 17
                                    

Namanya Nanda Almira, seorang wanita yang tidak pernah tahu dari rahim siapa ia dilahirkan. Wanita biasa yang sejak lahir sampai dewasa menghabiskan kehidupannya di dalam panti bersama anak-anak kecil lainnya.

Jika anak kecil lainnya akan diadopsi maka berbeda dengan Nanda. Penampilannya yang biasa bahkan cenderung kurus dengan kulitnya yang kecoklatan membuatnya tidak pernah dilirik oleh setiap pasangan yang berniat mengambil anak adopsi.

Awalnya Nanda kecewa. Selalu menangis setip kali ada pasangan yang datang dan tidak memilihnya, tapi lama kelamaan ia mensyukuri semua itu. Ia mencintai panti tempatnya berada, lingkungannya, orang-orangnya, para pegawainya dan terutama Ibu Desi, pemimpin panti.

Beruntung ketika Nanda beranjak dewasa dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya Ibu Desi tidak memintanya pergi dan malah menawarinya untuk bekerja di panti.

Nanda yang sudah jatuh cinta pada panti tentu tidak bisa menolak tawaran Ibu Desi begitu saja. Ia dengan suka cita menyambut tawaran itu hingga lima tahun setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, Nanda masih bertahan di panti. Mengurus anak-anak panti yang sudah dianggapnya adik sendiri dengan senang hati.

Seperti yang dilakukannya setiap pagi menjelang, Nanda akan membangunkan anak-anak panti yang masih tidur dan memastikan mereka mandi lalu melakukan ibadah dan bersiap-siap sekolah setelah menyelesaikan sarapan.

"Nanda, semua sudah bangun?" suara lembut Ibu Desi terdengar.

"Sudah Bunda," begitulah Nanda dan anak-anak panti memanggil Ibu Desi, "Anak-anak sudah sarapan dan ada beberapa yang sudah berangkat ke sekolah."

"Baiklah. Setelah ini tolong ke ruangan Bunda ada yang ingin Bunda bicarakan."

"Baik Bun."

Ibu Desi menepuk bahu Nanda lalu berjalan meninggalkan wanita itu yang tengah mengawasi sarapan anak-anak panti. Tidak lama berselang, seperti yang perintahkan sebelumnya Nanda mengetuk pintunya lalu masuk ketika Ibu Desi mempersilahkan.

Ibu Desi mengamati Nanda dengan seksama. Tidak ada yang berubah dari Nanda. Wanita itu terlihat masih sama dengan Nanda kecil yang dulu di rawatnya. Bedanya hanya pada tinggi badannya, Nanda memiliki tinggi badan yang cukup tinggi untuk wanita Indonesia kebanyakan serta wajahnya kini sudah tidak kecil lagi.

Ibu Desi ingat bagaimana Nanda dulu selalu menangis setiap kali pasangan yang datang tidak memilihnya. Ibu Desi tahu persis bagaimana inginnya Nanda merasakan kasih sayang orang tua, tapi takdir tidaklah berpihak padanya. Nana tidak secantik dan seimut teman-temannya. Hal itulah yang menjadi penyebab utama kenapa tidak ada satu pun pasangan yang ingin mengadopsi Nanda.

Sekilas memang tidak ada yang terlihat istimewa dari Nanda atau penampilan fisik wanita itu. Nanda terlihat sedikit kurus. Tapi jika sudah melihat mata coklatnya yang berkilau dan rambut hitam panjangnya yang selembut sutra -yang selalu terikat- orang-orang akan menyadari betapa istimewanya Nanda.

Nanda cantik dengan pesonanya tersendiri.

"Duduklah sayang," Ibu Desi berkata lembut, memberi isyarat dengan tangannya agar Nanda duduk di depannya, "Bunda ingin meminta tolong kepadamu."

"Apa yang bisa saya lakukan Ibu?"

Ibu Desi tersenyum. Bahkan kerutan di wajahnya tidak serta-merta melunturkan kecantikan alami yang dimiliki wanita itu.

"Kau tahu bukan kalau besok pemilik yayasan akan datang?" Nanda mengangguk, "Bunda ingin kau membantu persiapannya. Bagaimana pun juga Nyonya Irawan sudah lama tidak berkunjung kemari karena sejak kematian suaminya beliau memilih tinggal di luar negeri dengan anaknya. Bunda ingin kamu membantu mbok Ijah menyiapkan makanan untuk besok. Menurut informasi dari sekretaris pribadi Nyonya Irawan, beliau akan datang bersama putra tunggalnya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Jadi Bunda ingin menjamu mereka dengan makanan khas nusantara. Apa kamu bisa?"

Nanda tersenyum, "Tentu saja Bun, tentu saya bisa. Saya akan membantu mbok ijah di dapur untuk menyiapkan segala sesuatunya."

"Terima kasih banyak Nanda."

"Sama-sama Bunda. Kalau begitu saya permisi dulu Bun, mau ke dapur untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan mbok Ijah."

"Pergilah nak, Bunda percayakan semuanya padamu dan mbok Ijah."

Nanda tersenyum senang lalu bergegas ke dapur. Jika dalam hal pelajaran Nanda tidak terlalu pandai, tapi ia cukup pandai dalam memasak. Semua orang mengatakan masakannya enak setelah menyantap makanan yang dibuatnya.

Kecintaan Nanda pada masakan membuatnya setiap hari berkutat di dapur dengan mbok Ijah, membantu wanita paruh baya itu menyiapkan makanan untuk penghuni panti. Meskipun sebenarnya Ibu Desi tidak pernah memintanya untuk melakukan hal itu, tapi Nanda melakukannya dengan suka rela. Belajar cara memasak dari mbok Ijah yang tentu saja merasa terbantu dengan kehadiran Nanda di dapurnya.

Nanda sampai di dapur dan mengatakan apa yang di katakan Ibu Desi pada mbok Ijah. Setelah mendiskusikan menu apa saja yang akan mereka masak, keduanya sepakat untuk belanja keperluan yang masih kurang ke pasar.

Keesokan harinya, setelah membereskan kasur tempat tidurnya Nanda bergegas membangunkan anak-anak untuk mandi dan bersiap-siap menyambut sang pemilik panti. Semuanya tampak antusias. Mereka semua begitu gembira karena setelah sekian lama, Nyonya Irawan datang mengunjungi mereka kembali.

Sementara anak-anak bersiap, Nanda bergegas ke dapur membantu mbok Ijah dan petugas memasak lainnya. Mereka berkutat untuk menyiapkan makanan Indonesia yang telah di sepakati kemarin. Rendang, gulai dan rawon serta pecel menjadi menu untuk makan siang bersama mereka kali ini.

Tiga jam setelahnya barulah semua makanan siap.

"Nyonya Irawan dan rombongan sudah hampir sampai. Ayo kita keluar dan menunggu di depan," suara Pak Safwan, satpam panti di ambang pintu.

Mbok Ijah dan yang lain bergegas mencuci tangan dan mengelapnya pada celemek lalu melepaskannya, "Ayo kita keluar sayang."

"Mbok sajalah. Saya di sini saja. Mau beresin semuanya dulu nanti kalau sudah beres saya nyusul mbok."

"Bener nih gak apa-apa kamu di tinggal sendirian buat kerjain ini? Ini banyak lo Nanda?"

"Gak apa-apa mbok. Lagi pula saya gak enak kalau harus di sana. Nanti saja saya nyusul mbok."

Mbok Ijah terlihat berpikir lalu mengangguk, "Baiklah tapi kalau kamu capek gak usah kerjain semua sendirian nanti kita beresin bersama-sama."

"Baik mbok."

Mbok Ijah bergegas keluar, menyambut kedatangan nyonya Irawan dan anaknya bersama pak Safwan dan pegawai lainnya. Nanda yang tidak ikut -dan merasa tidak harus ada di sana- memilih di dapur, membereskan dan mencuci semua peralatan masak yang tadi mereka gunakan.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya Nanda berniat membersihkan diri sebelum ke aula untuk bertemu dengan Nyonya Irawan. Nanda menutup pintu dapur dan berbalik hanya untuk bertabrakan dengan tembok berotot yang cukup keras.

"Oh!"

Nanda hampir terjatuh, tapi tangan besar dan berotot itu menahan lengannya, membuatnya tetap berdiri di tempatnya.

Sekaligus memerangkap Nanda.

Ketika mendongak dan melihat sosok dihadapannya, Nanda tidak sanggup berkedip. Paru-parunya seolah mengkerut. Tatapannya beradu, lalu terkunci pada sorot mata abu-abu yang tajam.

Wajah pria itu yang tadinya sekeras granit perlahan melunak membentuk ekspresi mempesona. Bibirnya melengkung menggoda.

Pria itu tersenyum.

Nanda mengalihkan tatapannya kembali pada mata abu-abu yang memikat hanya untuk mendapati dirinya tersipu.

Untuk pertama kalinya Nanda merasakan jantungnya berdetak begitu kencang hingga nyaris membuat dirinya pingsan. Nanda tahu dirinya terpesona, tidak hanya sekedar terpesona tapi ia jatuh cinta. Nanda cukup tahu apa yang dirasakannya untuk menarik kesimpulan bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama, jatuh cinta pada sosok pria berwajah malaikat di depannya.

____(170918)____
Part pertama semoga semua suka.

NANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang