Elsa duduk di sofa. Tangannya masih gemataran. Syok yang ia alami belum juga hilang. Zen memutuskan untuk memberinya segelas air untuk menenangkannya. Ia lalu berlutut. "Maafkan aku, Elsa. Lagi lagi aku tidak bisa menjagamu dengan baik," ucap Zen penuh sesal. "Jika tadi aku ada di sampingmu, itu tidak akan terjadi," Zen menyeka air mata Elsa yang masih menetes.
"Tidak, Tuan! Ini salah saya. Tidak seharusnya saya pergi terlalu jauh dari anda," bantah Elsa cepat.
Zen menarik nafas. "Lihat aku, Elsa." Ujar Zen. Dengan ragu, ia menatap mata Zen yang berjarak cukup dekat dengannya kini. "Berhenti menyalahkan dirimu. Jika aku salah, maka salahkan aku. Aku bukan lagi seorang Pangeran, Elsa. Aku rakyat biasa, sama sepertimu. Jadi jangan perlakukan aku seistimewa ini," katanya.
"Anda, Tuan saya. Jadi-"
"Apa aku pernah memberimu uang tiap kau bekerja padaku? Bukankah itu yang didapatkan seseorang tiap ia bekerja? Kau tidak bisa bekerja padaku lagi, Elsa."
Elsa termangu. Ia lalu buru-buru menggeleng. "Tidak apa-apa, Tuan. Itu sudah tugas saya. Sebelum bekerja, saya disumpah untuk setia pada keluarga kerajaan. Jadi, apapun yang terjadi, saya tidak akan melanggar sumpah saya," jawabnya mantap.
Zen geleng geleng kepala. "Kau..keras kepala sekali. Elsa, jangan lagi kau pergi sendiri. Aku yang akan menemanimu," pesan Zen.
Elsa tersenyum lalu mengangguk. "Baik, Tuan. Sekarang, saya akan memasak sarapan untuk Tuan," ucap Elsa sambil beranjak ke dapur
Zen menatapnya dari belakang. Bayang-bayang saat ia gagal melindungi Elsa dari kawanan penjahat itu, tidak bisa ia lupakan. Ia tidak bisa berhenti menyalahkan diri karena membuat Elsa harus menanggung akibatnya.
Tok tok tok, suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Zen. Ia bergegas membuka pintu. Seorang wanita bangsawan paruh baya berwajah cantik datang dengan sebuah pie apel berukuran besar.
"Halo? Apa Emelda ada?" Tanya wanita itu.
"Oh, Nyonya Emelda sedang pergi ke kota. Ada yang bisa kubantu, Nyonya?" Tanya Zen ramah.
"Begini, aku ingin memberi ini." Wanita itu menyodorkan sepiring pie apple.
"Terima kasih, Nyonya...siapa nama anda, Nyonya?" Zen pun menerimanya.
"Leticia Blacksmith," jawab Nyonya Leticia.
"Blacksmith? Cornella bersaudara itu, putri anda?" tebak Zen
Nyonya Leticia mengangguk. "Ya! Itu putriku. Ngomong ngomong, aku belum pernah melihatmu di keluarga ini."
Zen terkekeh. "Ah, ya, kau benar. Namaku Zen, Nyonya. Aku keponakan Tuan Albert," ucapnya memperkenalkan diri.
Nyonya Leticia ternganga. Ternyata Zen, yang disebut putrinya itu sangatlah tampan. Selain itu, postur tubuh tinggi dan berisinya itu begitu menarik perhatian. Pantas saja Noella menyukainya. Nyonya Leticia menatap Zen mulai dari ujung kaki hingga kepalanya. "Layak untuk putriku," gumam Nyonya Leticia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET LOVE STORY : DANCING IN THE DARK
RomanceElsa adalah salah satu pelayan favorit Putri Anne. Ia pikir kehidupan seorang putra dan putri raja selalu dipenuhi oleh kemewahan. Tapi pemikirannya terbantah tatkala Putri Anne memindahkannya ke istana milik adiknya yang berada di bagian paling bel...