Daisy melihat arloji di pergelangan mungilnya. Mata bundarnya seketika terbelalak. Oh astaga, ia bahkan lupa memanjakan perutnya. Pantas saja konser meriah di perutnya berdendang begitu merdu.
"Hera, nanti tolong pisahkan design-design yang baru saya buat, ya? Yang sudah selesai simpan di map, dan yang belum tolong dirapikan saja. Saya mau makan siang dulu, nih. Laper. Kamu mau nitip?" Daisy tersenyum manis dan mengerjap-ngerjap.
Hera tersenyum geli, "Ah tidak perlu repot, Bu. Saya sudah makan. Baiklah, nanti saya urus semuanya saat ibu diluar," ujarnya tersenyum sopan.
"Okay."
Hera terkekeh pelan menyadari panggilan "ibu" untuk gadis yang telah berlalu itu. Astaga, bahkan dirinya sudah lebih tua 3 tahun di banding Daisy. Postur tubuhnya pun lebih mencondong untuk ukuran ibu-ibu yang sudah pernah melahirkan, dibanding tubuh mungil Daisy yang menyerupai murid baru lulus SMP.
Sebenarnya Hera enggan memanggil Daisy dengan sebutan "ibu", tapi gadis itu justru menyukai panggilan dari Hera, asistennya. Seakan-akan ia telah dewasa dan orang-orang akan percaya bahwa gadis itu sudah tumbuh besar.
Astaga, haruskah dirinya menganggap ia lebih muda dari Daisy? Sekecil apa ia jadinya nanti?
***
Daisy memarkirkan Barbie –mobil VW kuning-nya– di depan Mc. Donals. Huh, perutnya tidak henti-hentinya menjerit. Sepertinya ia perlu menculik ayam tetangga agar biaya yang di keluarkannya tidak terlalu banyak hanya untuk sekedar makan.
Susah memang, bila rasa laparmu begitu kencang dan dompetmu begitu kempis.
Tidak, bukan dirinya tidak memiliki uang. Hanya saja ia sedang belajar menabung dan menghemat, seperti yang disarankan ibunda tercinta bila ingin terlihat dewasa dimata orang. Oh, dengan senang hati akan dilakukannya!
Daisy melangkahkan kakinya ke dalam dan memesan pesanan yang terlihat banyak untuk ukuran tubuhnya. Ia menghembuskan napas kesal seraya mengerucutkan bibir melihat tidak ada lagi meja kosong yang dapat di tempatinya.
Baru ia akan keluar dan berencana menyantap tiga potong ayam yang menggoda itu di dalam Barbie, sebuah suara lembut memanggilnya.
"Daisy! Sini, bergabung dengan kami."
Daisy menoleh keasal suara. Ia memiringkan kepala, menyipitkan matanya melihat empat orang mengenakan jas putih, dengan salah satu yang paling cantik nan anggun diantara mereka melambaikan tangan kearahnya.
"Dokter Karin?!" Pekik Daisy begitu antusias. Dengan semangat ia menghampiri tempat mereka.
"Hai Dokter Karin, Dokter Ando... Ehey ey... yey, Dokter Panji..." Daisy menyengir lebar, mengerjap-ngerjapkan matanya saat bertatapan dengan Dokter Panji.
"Hallo, Daisy. Apa kabar? Silahkan bergabung sini." Panji tersenyum ramah dan menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk.
"Baik Dok! Dokter Panji apa kabar?" Cengiran di wajahnya semakin melebar, membuat siapa saja gemas ingin mencubitnya saat itu. "Kok sekarang Dokter jarang kelihatan di Rumah Sakit?"
"Sangat baik," Panji terkekeh pelan. "Memang, saya sudah jarang kesana. Karena sebentar lagi saya akan melanjutkan study keluar negeri."
"HAH?!"
Paha ayam dalam genggamannya sampai terpental. Pekikan gadis itu membuat semua orang disana menoleh kearahnya, bahkan ada ibu-ibu yang menggerutu kesal karena anaknya yang sedang makan tersedak karenanya.
Para dokter di mejanya bahkan harus tersenyum ramah upaya meminta maaf. Dengan segala ketampanan dokter-dokter itu dan kecantikan Dokter Karin, siapa yang mampu menolak senyuman mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adore You, Doctor!
General FictionSUDAH DITERBITKAN. TERSEDIA DI GRAMEDIA TERDEKAT Daisy El Vanisha, designer mungil yang boleh dikatakan buta soal cinta. Ia tidak pernah mengenal lawan jenis lebih dalam apalagi berpacaran. Jangan tanya apa sebabnya, karena ia pun tidak mengerti ala...