Dulu kita pernah berada di tepian terjauh sebuah jarak. Kau berlarian sepanjangnya. Mulutmu memberi isyarat jika kau sedang berteriak-teriak menyampaikan sesuatu padaku, entah tentang apa. Yang jelas aku hanya dapat sedikit menebak bahwa kau sedang berusaha keras mengartikan itu padaku. Tapi semua lenyap di antara jarak yang begitu jauh. Aku bisa melihatmu tapi aku tak bisa mendengarmu, kekasihku. Apa kau ingat semua itu? Awal perjumpaan kita.
Kenapa kau diam? Kenapa kau membisu? Bicaralah sayang, bicaralah. Bukan kah kita telah sepakat menjadikan jarak yang jauh ini sebagai mayatnya? Bicaralah, teriaklah, sekeras-kerasnya, sejadi-jadinya. Kekasihku.. kekasihku.. kekasihku...
Setelah begitu dekat kenapa kau jadi diam dan membisu? Bicaralah sayang. Jika kau tak mampu berteriak, berbisiklah! Di tempat yang sunyi ini tentu suaramu akan terdengar, tentu akan ku dengar. Berbisiklah sayang! Kita telah di tepi yang sama sebelum sama-sama memberangkatkan keinginan untuk kembali hidup di kota itu. Bukankah kamu ingin memperdengarkan suara indahmu ke seluruh kota di negeri ini bersamaku? Bukankah kita akan mewujudkan mimpi kita sayang? kamu tak lupa kan sayang? Jika kota itu begitu bising, begitu riuh. Mungkin aku tak bisa mendengar suaramu karena kebisingan kota ini. Bicaralah sayang!
Rasanya sudah lama aku tak mendengar suara mesramu, rayuanmu, kata-kata manis yang sering kau ucapkan. Apalagi degup kemarahanmu yang selalu membuatku kembali pada rasa ingin memperbaiki diri dan memperbaiki segala hal yang tidak baik. Bicara lah sayang, dulu kau selalu bilang "Buanglah kenangan itu ke tong sampah. Sebaik-baik kenangan adalah seburuk-buruk keinginan. Seindah-indah masa lalu adalah sepahit-pahit kenyataan. Tong sampah adalah tempat yang tepat untuk yang telah usai. Hanya yang tak punya pilihan yang mampu memulung kenangan dari tong sampah itu. Sebab segalanya telah tertanam di dalamnya". Bicaralah sayang bicaralah. Kekasihku, kita tak akan bisa menjalin hubungan dalam diam begini. Sayang masih sanggupkah engkau berdiam? Bicaralah sayang! Kekasihku, kekasihku, kekasihku....
Seperti inikah caramu untuk memperdalam rasa cintaku padamu? Kau pikir dengan diam mu aku akan berhenti mencintaimu? Kau pikir dengan kebisuanmu aku akan pergi meninggalkan mu ke kota sendirian? Tidak! Aku akan selalu bersamamu, apa kau dengar itu sayang? Aku akan selalu bersamamu.
Kau sungguh keterlaluan! Kau masih saja berdiam. Liat lah tempat ini meski hanya tertinggal kekosongan. Tapi tempat ini selalu gencar menceritakan kenangan. Selalu riuh akan masa lalu. Bicaralah sayang! Sampai kapan kau bertahan dengan diammu? Sampai kapan kau berdiam seperti ini? bicaralah sayang.
Lalu kau juga sering membentakku untuk tak berlama-lama di depan cermin. Pemandangan tubuh tak memberi apaun pada harapan. Kau lempar sebilah parang dan cangkul ke depan pintu, memberi isyarat untuk segera bergegas berkerja, katamu "Kau tak hanya melihat tapi kau juga harus merasakan, mendengarkan dan memberikan hal baik di luar dirimu sendiri. Cermin itu bukanlah dirimu. Cermin itu adalah kenyataan. Dirimu adalah kenyataan darimu." Bicaralah sayang.. kekasihku, kekasihku, kekasihku.
Aku merindukanmu, aku merindukan candaanmu, aku merindukan sikapmu, aku merindukan semua yang ada di dirimu sayang. Dulu setiap sore kau mengajakku pergi ke pinggir danau untuk melihat senja. Katamu "hanya senja yang mampu meluluhkan dirimu selain aku". Oh kekasihku, bicaralah. Sudahlah kau tak perlu becanda seperti ini, aku tak akan percaya. Bicaralah sayang. Pasti kau tak akan kuat menahan tawa melihat aku yang mulai percaya denganmu. Kamu lucu sekali sayang. Ini yang membuatku bertahan bersamamu, kau selalu tau bagaimana cara membahagiakanku. Sayang, sayang, sayang...
Lihat disekitarmu! Banyak yang menantimu, kami semua menunggumu sayang. Apalagi ibumu, ibumu begitu kecewa melihatmu yang terus membisu. Bicaralah sayang! Sudah terlalu banyak pertanyaan yang ibumu lontarkan dari mulutnya. Sayang.. sayang, sayang.. kau memang sungguh keterlaluan! Kau anak durhaka! Orang yang melahirkanmu tak kau hiraukan. Kau biarkan dia meneteskan air mata menahan sakit yang kau berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih
Short StoryCerpen #1 - Inspired from monologue "Peti Mati Kekasihku" by Halim Bahriz