First and Fifth Snow

1.6K 112 9
                                    

Aku menatap dinding pada awalnya, tapi entah mengapa ada wajah dengan senyum terpaksa, matanya menyorotkan kesenduan. Dinding ruang keluarga ini seharusnya, layaknya orang demam karena merasa panas dan dingin bersamaan. Diluar sana salju hari kelima sedang turun membuat dinding akan terasa dingin di bagian luar, dan hangat di bagian dalam karena ada perapian yang terus menyala. Aku duduk di sofa dengan membenamkan diri di balik selimut tebal.

Aku menatap lantai kayu, aku juga melihatnya disana. Wajahnya sedikit jelek, terus merengek karena kuabaikan. Mungkin sebentar lagi akan menangis. Aku tersenyum, biar jelek begitu juga menggemaskan! Pipiku sakit untuk menahan tawa. Saat ini aku sendirian. Dan tertawa sendiri itu agak aneh bukan?

Menengadah. Hidungku tersumbat, suhu hari ini terlalu dingin, mungkin aku akan terkena flu. Lagi-lagi di langit-langit ruang keluarga aku melihat wajah itu. Kali ini dengan wajah yang berbanding terbalik denganku. Dia meledekku. Menjulurkan lidah, dan tersenyum dengan jahilnya. Dia terlihat sangat bahagia jika seperti itu. Aku memberikan senyum terlebarku sebagai balasannya.

Duduk dengan tegak, ketika aku sudah merasa cukup bisa bernafas normal setelah menengadahkan kepala beberapa menit yang lalu. Ku alihkan pandanganku lurus pada lidah api yang munjulur kebagian atas, menggapai langit-langit perapian. Disana aku melihat wajahnya yang kesal.

Aku ingat, pernah sekali meninggalkannya, membuatnya pulang sendirian. Aku dengar kala itu dia memanggil  namaku dengan penuh ketakutan. Pertama kulakukan dia bersikap seperti biasa esok harinya. Lalu kedua kalinya aku meninggalkannya pulang sendirian, dia memanggilku dengan nada tingginya. Aku tahu dia sangat marah. Sebenarnya aku bersembunyi dibalik tembok gang sempit pemisah antara tempat les bahasa jepang kami dan toko kue.

Dia menjawab Aku masih ada urusan. Jika kau ingin segera pulang maka, go first.  Itulah yang kudapat dari pertanyaanku lewat telepon, suaranya seperti sedang menahan nafas, padahal aku menunggunya. Aku akui, aku sangat jahil. Dan dia mungkin sangat lelah hari itu, aku paham. Jadi dia sangat marah. Sampai saat ini aku masih merutuki kebodohanku waktu itu. Dua tahun yang lalu.

Aku menghembuskan nafas panjang setelah menahannya 20 detik. Dadaku masih sakit, ini sudah hari kelima ketika aku melihat wajahnya terakhir kali. Secara fisik.

"Lebih baik tidur, hyung.." Suara Chenle terdengar seperti menghilang, mungkin baru saja ia lewat di belakangku. Dari suara yang ditimbulkannya aku bisa menebak ia baru saja keluar dari dapur menuju kamarnya.

"Yahh kupikir itu ide yang tepat, Le."

"Berpikirmu lambat sekali, hyung.. lakukan saja daripada harus membuang waktu menjawab saranku." Seru Chenle dari dalam kamarnya. Aku tahu setelah ini aku tidak perlu repot-repot menjawabnya lagi. Kupejamkan mata.

Memoriku memutar salju hari pertama..

"Apa gunanya kau menghadiahkan kamus, jika kau tidak memperbolehkanku ke luar negri? Kau seharusnya bahagia karena pemberianmu ku pergunakan sebagimana mestinya!"

"Ya. Tapi apa harus meneruskan sekolah disana? Dan kau tahu itu membutuhkan waktu bertahun-tahun!"

"Ya karena memang itulah ketentuannya.." "Jangan bersedih.. aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh dan menyelesaikan sekolahku dengan segera. Jika aku sudah sampai di apartemen Ten aku akan mengabarimu. Jangan menangis.. Kau ini sudah jelek dan semakin jelek sekarang." Dia merogoh saku jaketku, menarik kembali tangannya dengan membawa sapu tanganku, mengusapkannya pada pipiku yang basah karena air mata.

"Untuk apa?" Pertanyaanku meluncur begitu saja setelah ia menepelkan sekilas bagian sapu tangan yang basah pada bibirku. Aku kaget begitu dia melipat bagian tersebut menjadi di bagian dalam lalu memasukan sapu tanganku ke saku jaketnya, bukan mengembalikan lagi padaku.

Anything MarkrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang