Before Snow Season Really End

516 55 11
                                    

Tanpa diduga, apalagi terbayangkan oleh Renjun sebelumnya.

Renjun hanya berharap Johnny dan Ten mewujudkan doanya sebelum mereka bertolak ke Korea beberapa waktu lalu. Tidak pula menginginkan oleh-oleh semacam makanan khas Korea yang tidak ada disini. Apalagi minta dibawakan salju Korea, big no!

Heyy.. ini lebih indah dan tidak konyol sama sekali dibanding oleh-oleh salju Korea!

Aku kadang merutuki Johnny dan kekunoannya. Bagaimana mungkin di zaman canggih seperti ini Johnny masih tidak menggunakan pintu canggih yang bisa terbuka dengan sendirinya, misalnya otomatis terbuka sendiri ketika memasukan beberapa digit atau menepel sebuah kartu, begitu?

Demi Tuhan, diluar salju masih menumpuk, semalam salju turun cukup deras. Dingin, dan merasa miris, karena sepi sendiri.

Aku langsung melompat karena kaget mendengar ketukan di pintu utama terdengar begitu bar-bar. Kupikir itu Jane, tetangga kami disini, dia sering berkunjung terlebih saat aku ditinggal oleh Johnten ke Korea. Ya.. aku mengira itu Jane.

Setelah kubuka pintu, ow! Aku memekik. Betapa terkejutnya aku melihat sepasang suami istri yang tingginya bertolak belakang ini, Johnny dan Ten telah kembali!

Sebelum aku menyamping untuk memberi jalan untuk keduanya, mencullah sesosok yang kurindu-amaaaattt sangat-dari balik punggung Johnny. Dia tersenyum lembut.

Johnny dan Ten masuk kedalam rumah, menyisakanku yang masih berdiri di ambang pintu bagian dalam rumah dan Mark dan coat tebalnya di depan pintu bagian luar. "Hai! Bagaimana? Apa aku sangat tampan? Atau kau pikir dengan menjadi model terkenal bisa membuatku tidak merasa kedinginan di luar rumah seperti ini?"

Aku baru tersadar. Lalu menyeret lengan coat Mark untuk masuk kedalam rumah. Aku sangat terkejut.

"Kau datang.." air mataku menetes begitu saja. Membahagiakan bisa melihat Mark disini saat ini.

Penampilannya berubah. Mark dulu hanyalah rookie model, penampilannya tidak semodist sekarang. Lihat, dia adalah bintang sekarang. Model ternama. Sangat tampan.

Aku duduk membimbingnya untuk duduk disofa, dengan masih menangis. "Jangan menangis. Kau ingin menyuguhiku dengan air mata yang membeku menjadi es?" Ini mulut Mark yang dengan begitu lancarnya bergurau, tersenyum seraya mengepang rambut panjangku. Alih-alih di usak atau di belai untuk menenangkan tangisku. Tidak romantis.

"Rambutmu sudah panjang ya, aku jadi gemas sendiri, melihat ini terurai begini. Apa kau tidak memotong rambutmu?" Masih sibuk mengepang, ya rambutku memang tidak bisa hanya dibilang cukup panjang, karena sudah hampir melewati tulang ekorku. "Ten, tolong ambilkan karet rambut." Mark berseru dibalik punggungku.

"Kau sih.. tidak pernah mau kuajak video call, jadi tidak tau sepanjang apa rambutku." Aku memukul kaki kirinya yang bisa kugapai. Dia hanya mendengus.

"Aku sangat sibuk, hampir tiap waktu bekerja. Aku takut kau terpesona karena ketampananku saat menggunakan make up bertema apalagi dengan baju mahal. Aku ingin kau melihatku bareface." Sombong Mark, membuatku berdecih.

"Nahh sekarang kau sudah seperti Elsa, blonde girl." Ucap Mark setelah selesai mengikat ujung karya kepangannya dirambutku.

"Lihat apa yang kubawa!" Dia membalik badanku 180° untuk bisa berhadapan dengannya. Dia merogoh saku coat yang terlihat hangat itu, lalu kulihat diantara jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk ok (👌)- terdapat sebuah cincin.

"Ini untukku?" Aku menunjuk cincin diantara jarinya. Dia mengangguk mantap. Aku merebut paksa dan menerjangnya-memeluknya erat. Dia tertawa karena ulahku.

"Hei kapan kau lulus?" Dia bertanya setelah selesai puas tertawa, kini aku malah menangis. Aku sangat rindu. Ada banyak yang kulewatkan, aku tidak disampingnya kala dia berjuang manjadi sesukses sekarang, aku tidak mengomelinya ketika kumis halus mulai tumbuh diantara hidung dan bibirnya atasnya, dan tidak sadar mulai kapan dia begitu cerewet seperti sekarang. Mark banyak berubah.

Mark mencubit pipiku, membuat lamunanku buyar begitu saja. "Aku sangat tampan ya? Jangan melamun begitu.. aku nyata di depan matamu, bukan aku yang kau yang ada di majalah yang sering kau peluk hingga tertidur." Mark tertawa.

Sial. Aku mendelik mencari keberadaan Ten ataupun Johnny, siapa lagi kalau bukan diantara mereka berdua yang membocorkan kebiasaanku itu?

"Omong-omong kau belum menjawab pertanyaanku." Mark menyeretku kembali ke fokusku, Mark.

"Tahun depan.." jawabku, dia mengangguk.

"Baik.. cepat pakai cincinnya." Perintahnya gemas, karena aku benar-benar seperti orang bodoh yang hanya terbengong-bengong. "Cepat pakai." Perintahnya lagi, dan kali ini aku turuti.

"Ini, lihat aku juga memakainya." Dia menunjukkan sebelah tangannya yang ditempati cincin yang mirip seperti yang sudah kupasang di jariku. "Aku sudah melamarmu ya! Jangan lupa pamerkan cincinnya kepada Jeffrey Jung saat kalian bertemu nanti." Dia tersenyum congkak.

"Tidak romantis sekali! Mana ada melamar dengan modelan seperti ini?" Aku benar-benar tak habis pikir...

"Aku tau kau sering bertemu dengannya. Meski aku sibuk dan jarang memberimu kabar beberapa tahun terakhir, tapi aku selalu memantau gerak-gerikmu." Mengerikan sekali kan Mark ini?

"Aku sudah meminta restu dan datang menemui baba dan mama untuk melamarmu, aku meminta Johnny dan Ten untuk menemaniku sebagai wali ke China." Mark memposisikan diri senyaman mungkin untuk menyenderkan kepalanya disofa. "Itu alasan mengapa pasangan itu agak terlambat pulang ke UK."

Kenapa Mark mengatakannya dengan begitu enteng? Sangat laki-laki, maksudku benar-benar percaya diri.

"Kau tau tidak?" Aku menikmati peranku kali ini, Mark yang cerewet, menyerocos sedari tadi dan memimpin pembicaraan adalah hal langka-biasanya aku-dia menyambung kalimatnya, "..sejujurnya diwaktu cutiku kali ini aku ingin menikahimu langsung.." wow! Aku sangat kaget kali ini. Dan kenapa Mark masih sangat enteng mengucapkannya, terlebih dengan posisinya yang memejamkan mata, dan jangan lupakan wajah datarnya, tapi sedikit kutangkap agak kecewa.

"Mama bilang, dia tidak ingin melihatmu hamil diantara tugas akhir kuliahmu disini sendiri, sementara aku berkerja di Korea." Dan masih dengan entengnya dia melancarakan kalimatnya.

"Jadi aku akan-harus-bersabar sampai setidaknya setengah tahun lagi ya?" Dia bertanya kepadaku seraya membuka mata untuk menatap lurus mataku, aku mengangguk mantap untuk menjawab, "Ya, Mark."

"Kenapa lama sekali sih?" Kali ini dengan sedikit merengek seperti anak kecil yang diajak pergi belanja ibunya dan meminta pulang.

"Tapi setidaknya tidak sampai musim salju tahun depan kan?" Aku bertanya.

"Oh tentu saja tidak." Jawabnya mantap. Aku kembali menerjangnya, memeluk erat.

"Maka cepatlah kembali ke Korea besok pagi. Dan aku akan semangat mengerjakan tugas akhir. Lalu nikahi aku!" Aku memekik bahagia, dia tertawa kencang, padahal aku sedang memeluknya erat. Apa dia tidak merasa sesak ya?

END

Anything MarkrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang