Prologue

113 15 14
                                    


Gadis itu berlari menuju gerbang sekolah yang sudah ingin ditutup oleh penjaga sekolah. Beruntungnya ia masih diperbolehkan masuk oleh penjaga sekolah
Tidak lupa, gadis itu mencium tangan penjaga sekolah terlebih dahulu.

Biru.

Gadis yang selalu terlambat datang ke sekolah padahal jarak dari rumah ke sekolahnya tergolong dekat.

Biru kembali berlari melewati jalan di samping ruang guru yang jarang dilewati murid lain. Ia mengambil nafas sejenak saat sudah sampai di depan kelasnya. Saat nafasnya kembali normal ia pun masuk ke dalam kelasnya.

"ASSALAMUALAIKUM." Biru berteriak sehingga semua tatapan tertuju padanya.

"Berisik, Biru. Kita lagi tegang-tegang juga nungguin kelas baru kita." Ucap salah satu gadis yang memakai kacamata. Biru hanya terkekeh kecil lalu mengucapkan kata maaf tanpa suara, ia rasa ia agak berlebihan pagi ini.

"Yeuh, tegang apanya nih?" Ucap salah satu laki-laki, lalu ia tertawa keras diikuti dengan tawa laki-laki sekelas.

Dulu, Biru pasti akan menanggapi candaan itu. Namun sekarang, jangankan menanggapi, Biru bahkan malas untuk mendengar candaan laki-laki itu.

Andromeda.

Laki-laki itu, Biru sangat membencinya.

Dahulu mungkin Biru dengan senang hati bertanya padanya tentang rumus matematika atau rumus-rumus yang lainnya. Tapi sekarang, menatapnya pun Biru segan.

Biru langsung berjalan ke arah kursi paling pojok belakang. Disana seorang gadis tengah duduk dengan earphone yang terpasang di telinganya.

Jingga.

Gadis itu, entah dengan kata apa lagi Biru dapat mendeskripsikan dirinya. Ibaratnya, Biru dan Jingga adalah warna yang sama-sama menghiasi langit. Mereka bernaung di langit yang sama. Mereka saling melengkapi, Biru dengan warna cerahnya, dan Jingga dengan warna indahnya.

"Jingga!" Biru sedikit berteriak kepada Jingga yang sedang fokus dengan ponselnya, entah apa yang dikerjakannya.

Jingga yang sedang memakai earphone dengan volume full tentu saja tidak mendengar suara teriakan Biru. Biru berdecak kesal, lalu dengan cepat melepaskan earphone yang Jingga pakai.

"Apaan sih, Ru. Ganggu tau ga." Jingga memutar kedua bola matanya.

Biru duduk di bangku sebelah Jingga.

"Jangan galau mulu napa, Ga."

"Siapa yang galau sih?" Jingga berdecak.

Jingga menatap asal ke segala arah, dan tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki yang dulu sering disebutnya sebagai Manusia Kutub Utara.

Venus.

Laki-laki yang dulunya sangat dingin. Jangankan berbicara, menatap saja ia tidak mau. Dulu Jingga benar-benar ingin sekelompok dengannya. Daripada harus berhadapan dengan laki-laki yang cerewet dan selalu memprotes, Jingga lebih memilih untuk berhadapan dengan laki-laki yang irit bicara atau bahkan tidak berbicara sama sekali seperti Venus.

Tapi itu dulu, keadaan sudah berubah sekarang. Venus tidak lagi menjadi laki-laki dingin yang tidak pernah berbicara dengan orang lain. Kini Venus telah menjelma menjadi laki-laki yang supel dan ramah terhadap orang lain.

Jingga memutus kontak mata mereka, ini tidak boleh dibiarkan. Jingga tidak ingin terjebak pada situasi yang sama lagi. Jingga hanya ingin hidup tenang. Jingga hanya ingin jadi warna indah lagi untuk langit. Dengan Biru yang menjadi warna cerah tentunya.

"Jingga, Biru bingung deh. Kenapa kelasnya belum dibagi coba. Dulu kan dua hari sebelum masuk sekolah kertas pemberitahuan masing-masing kelasnya udah ditempel di setiap kelas. Sekarang kita malah suruh ngumpul dulu di kelas lama. Aneh." Ucap Biru.

Jingga hanya mengangguk sebagai jawaban.

Seorang guru masuk ke dalam kelas. Seketika keadaan di kelas itu hening tanpa ada suara sedikit pun.

"Selamat pagi anak-anak. Ibu membawa kertas dari masing-masing kelas." Guru itu mengeluarkan sesuatu dari map yang dibawanya. Lalu matanya menatap ke penjuru kelas.

"Jingga, kamu bisa tolong bantu ibu tempelin ini di papan tulis?"

Jingga yang merasa namanya disebut langsung mendongak.

"Iya bu." Ucap Jingga. Ia pun berjalan ke depan.

Guru itu memberi Jingga beberapa kertas. Tatapan Jingga langsung menuju ke barisan nama dari B, untuk menemukan Biru tentu saja. Tapi nihil, di kertas pertama tidak ada nama Biru, begitupun namanya. Jadi ia langsung menempel kertas itu di papan tulis. Begitupun di kertas kedua, ketiga, keempat, kelima damn keenam

Di kertas ketujuh, mata Jingga membulat karena melihat nama Biru tertampang disana. Buru-buru ia ke barisan nama dari J untuk mencari namanya. Tuhan memang menyayangi kedua warna langit ini, Jingga menemukan namanya juga di kertas yang sama dengan Biru. Rasanya Jingga ingin berteriak dengan kencang. Akhirnya ia dan Biru sekelas lagi. Jingga pun mengambil doubletip dan menempel kertas ketujuh itu di papan tulis.

Jingga membeku.

Matanya tidak sengaja melihat nama itu dibarisan nama dari huruf A. Semua kesenangannya lenyap seketika. Lalu matanya kini tertuju ke barisan nama dari huruf V, dan ia melihat nama laki-laki itu.

Tuhan tidak benar-benar menyayangi dua warna langit ini.

~•~

Welcome!!!

Pink gabisa bikin cover bagus jdi gapapa kali ya hehe.

Terimakasih sudah membaca

I wuf u!


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NaranjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang