Sejak dirinya bisa mengingat, Renjun tidak pernah tahu siapa yang dapat ia klaim sebagai orang tua.
Ia tumbuh dengan menyandang titel sebagai yatim piatu. Bersama enam orang lainnya di sebuah panti asuhan. Dan Renjun ingat, ia selalu bermain bersama teman-temannya itu di halaman depan panti yang luas. Terdapat ayunan kayu sederhana yang menggantung di pohon apel, tempatnya bertukar cerita bersama si bungsu Jisung. Kotak pasir dekat gerbang pun selalu menjadi hal pertama yang dihampirinya ketika bersama dengan Lee Donghyuck, teman sebayanya.
Renjun dekat dengan semua orang. Rasa sayangnya merata, tidak ada yang berlebih, maupun kurang antara satu dengan yang lain. Tapi kejadian pada suatu hari membuat takarannya berubah. Timpang dan berpusat pada seseorang.
Na Jaemin yang ia maksud di sini. Karena suatu hal yang pernah terjadi kala mereka beranjak remaja.
Masa yang indah, dan selalu terkenang di benak Renjun sekalipun ia, pada umur empat belas tahun harus merasakan pahit karena suatu tragedi yang luar biasa menyakitkan.
Saat di mana ia terakhir kali melihat Jaemin.
=***=
Senyap, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana di ruangan isolasi bernomor C-11 itu.
Ada Na Jaemin yang terduduk di atas bangsal di sana, membiarkan semangkuk sup rumput laut mendingin di atas pangkuannya. Kendati aroma gurih sup begitu memikat indra penciuman, Jaemin lebih tertarik untuk memusatkan atensi pada pemuda yang duduk di samping bangsal, yaitu Huang Renjun. Dia, yang tengah bergeming di atas kursi seraya memindai rentetan angka yang tertera pada suatu kertas.
Dan Jaemin, sekalipun dia adalah pembenci keramaian, tetap merasa tidak nyaman ketika berada dalam suatu ruangan bersama orang yang dikenalnya, namun sama sekali tidak bercakap.
Maka, bibirnya tak bisa dicegah untuk mengucap, "ingin tahu sesuatu?"
Tidak ada jawaban. Namun, tubuh Renjun yang menegang membuat Jaemin tahu bahwa Huang muda itu mendengarkan. Ia pun meretaskan senyum miring.
"Kukira kau sudah tewas."
Renjun terdiam sejenak. Mengangkat kepala dari papan yang semula menjadi fokus netranya, kemudian menatap Jaemin dengan sebuah gelengan kecil.
"Tidak. Nyatanya aku masih hidup."
Jaemin mengangkat sebelah alis, sementara Renjun sudah kembali berkutat dengan kertas beralas papan yang terdapat di pangkuannya. Alis pemuda Huang itu berkerut, bibirnya mengerucut sambil sesekali menggerutu mengenai suatu rumus--menurut pendengaran Jaemin.
Ada deretan angka disertai fungsi dan simbol-simbol memusingkan di atas kertas yang tengah digeluti Renjun. Sesekali pulpen yang ia pegang menggoreskan tinta biru di sana, membubuhi lebih banyak angka atau coretan yang disertai gumaman frustrasi.
Hal itu seharusnya tidak menjadi urusan Jaemin, tapi melihat Renjun yang begitu fokus dan sedikit putus asa tak pelak membuatnya terusik rasa penasaran. Maka Jaemin pun menggeser tubuh, mencuri lihat rangkaian angka di kertas Renjun sebelum terkekeh.
"Kau masih payah dalam matematika?"
Tubuh Renjun menegang karena terkejut. Suara berat Jaemin serta embusan napasnya telak menerpa telinga Renjun dengan jarak yang minim.
Sambil berusaha menormalkan frekuensi degup jantungnya, Renjun menjauhkan kertas berisi kumpulan rumus dari jangkauan mata Jaemin, mendekapnya erat di dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined || JaemRen
Fanfiction"Kau bukan lagi pribadi yang kukenal." "Delusional. Jangan harap seseorang yang sudah tidak kautemui selama sepuluh tahun akan tetap memiliki perilaku yang sama." "Aku pun berubah, tapi kau yang menjadi pembunuh bayaran sama sekali tidak ada di ling...