"Jadi begitu ceritanya."
Ujar Seokjin sambil menutup buku yang telah ia bacakan. Ia sedang memangku seorang bocah berusia 8 tahun yang bernama Kim Woojin. Bocah itu menggangguk antusias setelah mendengar seluruh ceritanya.
Bocah itu yang ternyata adalah putera dari Seokjin bersama Ju Eun. Ya, mereka memutusakan untuk menikah 9 tahun yang lalu setelah kejadian yang menimpa Seokjin. Hye Sun percaya Ju Eun bisa merawat Seokjin dengan baik, oleh karena itu Seokjin menikahi Ju Eun dan kini mereka telah di karunia seorang putera.
Seokjin mengelus lembut surai hitam Woojin, setelah dia menceritakan semua tentang teman-temannya yang telah dia tulis ke dalam buku.
"Jadi, keenam ajhussi itu hanyalah khayalan appa saja?" Tanya Woojin dengan polos dan mata bulatnya itu yang lucu membuat Seokjin gemas. Dilihat-lihat Woojin mirip seperti Jungkook, memiliki pipi gembul dan bermata bulat. Hanya saja dia tidak memiliki gigi kelinci.
Seokjin hanya mengangguk dan tersenyum.
"Pasti appa benar-benar kesepian di tinggalkan oleh mereka," ujar Woojin sambil memeluk tubuh Seokjin.
"Tidak lagi, karena sekarang ada Eomma dan Woojin di hidup appa," jawab Seokjin menggoda Ju Eun yang tiba-tiba datang. Wajahnya merona dan tidak bisa untuk tidak tersenyum saat mendengar ucapan Seokjin tadi.
Kini Seokjin membawa Ju Eun juga ke dalam pelukannya, "terimakasih, kalian sudah kembali mengisi kekosongan di hatiku dan aku sudah menjalani hidupku dengan lembaran baru."
Keadaan pun menjadi begitu sangat, Seokjin benar-benar bersyukur kini telah memiliki keluarga kecil bersama Ju Eun. Kejadian waktu itu memang begitu memilukan dan akan selalu membekas di hatinya.
Tapi, apa boleh buat? Ketika itu jalan yang telah Tuhan torehkan di dalam takdir seorang Seokjin. Dia yakin, begitu kuat dan mampu dirinya saat Tuhan memberinya cobaan itu bisa dia lewati begitu saja. Ingat, Tuhan tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya.
Yang Seokjin butuhkan kini meyakinkan dirinya bahwa ia dapat membahagiakan orang-orang yang dia sayangi. Juga dia menyadari sesuatu, bahwa Tuhan menyayanginya juga saat dia di beri sebuah ujian, Tuhan mengirimkan orang yang menyayanginya dengan tulus.
"Appa, bolehkan aku bertemu dengan mereka?" Tanya Woojin penuh harap, matanya yang bulat itu selalu memancarkan binarnya.
Ju Eun nampak melirik ke arah Seokjin, namun Seokjin membalasnya dengan senyuman. "Kajja," ujarnya sambil meraih tangan kecil Woojin.
"Jinjja?" Woojin tampak senang, wajahnya sumringah. "Kenalkan aku pada mereka ya, appa?"
"Geurae."
***
Kini mereka telah sampai di sebuah pemakan umum, tempat dimana keenamnya beristirahat. Woojin bisa melihat enam batu nisan yang berada di satu deretan dengan sejajar dan dia dapat melihat nama-nama yang tertera di batu nisan tersebut.
Woojin mulai mendekati pemakaman mereka, dan berlutut hingga lututnya menyentuh tanah.
"Annyeong, ahjussi. Aku Kim Woojin, putera dari hyung kalian, Kim Seokjin. Aku harap semoga kita bisa bertemu di lain waktu," celoteh Woojin dengan wajahnya yang polos.
Seokjin tidak bisa menahan airmata yang kian membendung di pelupuk matanya hingga cairan bening itu lolos keluar dan mulai mengalir.
Sungguh, Seokjin tidak kuat tiap kali melihat keenam temannya kini sudah berbaring tak berdaya dan beristirahat untuk selama-lamanya. Kendatipun hati Seokjin telah mengikhlaskan kepergian mereka. Tentu rasa rindu selalu tetap ada bukan? Katakanlah, rindu ini selalu mebgganggu hati dan pikiran Seokjin.
Tidak begiu mudah bagi Seokjin menerima ini, tapi seperti yang telah dia katakan sebelumnya takdir tetaplah takdir. Dan semua selalu ada hikmahnya, kini dia sudah punya tanggung jawab. Tentu dia tidak akan selamanya bersedih, kini dia telah memiliki seorang istri dan seorang putera, dia harus menjaganya setulus hati.
Ju Eun menoleh ke arah Seokjin, dan menggandeng lengannya. "Kau sudah berjanji padaku tidak akan sedih, kan?"
Mata Seokjin tetap fokus memandang ke arah depan, melihat Woojin di sana dengan intens. Memperhatikan puteranya yang sedang bercakap dengan mendiang sahabat-sabahatnya. Kendati Seokjin tahu, apa yang di lakukan oleh Woojin tidak akan di jawab oleh mereka.
Seokjin dan Ju Eun pun mendekati Woojin, kedua tangan Seokjin memegang pundak Woojin dengan lembut. "Nak, jika mereka masih hidup, pasti dia sangat menyayangimu."
"Benarkah?" Tanya Woojin dengan mata berbinar.
Seokjin mengangguk antusias, begitu juga dengan Ju Eun.
"Karena kamu anak baik dan menggemaskan," ujar Ju Eun sembari mengacak-acak surai hitam Woojin.
Wajah Woojin kentara berseri-seri, memandang kedua orangtuanya yang dia tahu begitu menyayanginya.
"Jika sudah besar nanti, aku ingin seperti appa," ujar Woojin.
"Waeyo?" Tanya Ju Eun.
"Aku ingin seperti appa, yang kuat dan hebat."
Seokjin tahu, dia tidak nampak sekuat dan sehebat yang Woojin lihat. Tapi dengan apa yang telah di laluinya waktu itu adalah hal yang membuktikan bahwa Seokjin adalah pribadi yang tangguh. Meski tidak mudah bagi Seokjin untuk melawatinya, dia mampu dan berhasil melewati semua krikil yang menghadang jalan itu.
Jauh di lubuk hati Seokjin yang paling dalam, dia tidak mau jika Tuhan memberi ujian hal yang sama sepertinya kepada Woojin. Karena dia cukup tahu bagaiamana rasanya kehilangan orang-orang yang dia sayang. Rasanya seperti separuh nyawa ikut menghilang. Dia tidak mau Woojin-nya ikut merasakan hal yang sama, dia tidak mau separuh nyawa Woojin merasa hilang. Karena, sekarang Woojin adalah bagian dari dalam diri Seokjin.
Kedua mata Seokjin memandang Woojin penuh arti, arti cinta, kasih dan sayang. Cairan bening itu masih setia menghiasi kedua manik matanya, bahkan membekas di pipi. Dengan hati-hati tangan kecil Woojin menyentuh lembut pipi Seokjin dan mulai menyeka airmata itu. "Jangan menangis, appa."
Bukannya berhenti menangis, Seokjin malah semakin terisak. Dia bahkan meraih tubuh kecil Woojin, membawa ke dalam dekapannya. "Appa menyayangimu, Woojin."
Tangan kecil Woojin bergerak menepuk-nepuk punggung Seokjin, "aku juga menyayangimu, appa."
Ju Eun pun tidak bisa menahan rasa harunya melihat kedua sosok pria yang berarti dalam hidupnya saat ini, airmatanya ikut mencelos keluar dari matanya. Tidak ingin mengganggu aksi peluk-pelukan antara keduanya, Ju Eun lebih memilih diam memperhatikan saja.
Setelah usai, hingga matahari mulai semakin tenggelam. Di sore hari sunset mulai terlihat. Seiring pergantian menuju malam, ketiganya masih memperhatikan batu-batu nisan itu. Senyum terukir di bibir mereka, sembari menghirup udara yang masih terasa segar.
"Ayo, kita pulang! Sudah hampir malam," ajak Seokjin, mereka hanya mengangguk mengiyakan.
Tangan Seokjin merangkul Ju Eun serta tangan satu lagi dia gunakan untuk menuntun tangan kecil milik Woojin sembari mereka mulai beranjak pergi meninggalkan tempat peristirahatan ke enam teman-temannya.
Di sela-sela langkah kakinya, Seokjin menolehkan kepalanya kembali untuk melihat makam teman-temannya.
"Semoga kita bertemu kembali, chingu." []
–SELESAI–
***
Lunas. Sudah selesai epilogue-nya hahaha😂
Kecewa? Iya. Aku tau ini ff brothership, tp aku buat disini Seokjin menikah sama Ju Eun. Jadi ceritanya di sini adalah, Seokjin itu ceritain ke anaknya (si Woojin itu) tentang dia dulu prnah nglamin hal ini. Ya pkkonya gitu deh😂Voment juseyo, 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
CHINGU •bts√ [END] Revisi
Fanfiction[COMPLETED] "Aku tidak tahu, lebih baik aku menyadarinya dari awal atau sama sekali tidak menyadarinya." -Seokjin- [CERITA INI AMAN DI KONSUMSI] •Seokjin main cast√ •with all member BTS√ •brothership/friendship√