1. Issues

19.1K 1.5K 140
                                    

STARBUCKS di tangannya tidak lagi terasa panas. Sakura mendesah, mendorong pelan kopinya ke depan tanpa memedulikan Ino yang merenggut tak suka di seberang kursinya. "Aku tidak seberuntung yang kau pikirkan," ujar Sakura. "Dia mungkin tidak sebaik tokoh karakter yang dia perankan. Dia seorang aktor, ingat? Kami adalah tokoh publik, berakting di depan kamera adalah makanan kami sehari-hari."

"Aku tahu, aku tahu," Ino mengangkat kedua tangannya ke udara, kemudian meraih Starbucks miliknya dan meresapnya sejenak. "Dan kau juga seorang aktris, tidak bisakah kalian berdamai dan menjalani pertunangan yang normal? Aku yakin Sasuke juga tidak seburuk yang ada dalam kepalamu."

Sakura menghela napas, memilih untuk menatap ke arah luar jendela yang mana di luar sana tengah ramai banyak orang membawa kamera, berusaha menerobos pintu masuk untuk memberinya beberapa pertanyaan. Kenapa keberadaannya selalu diketahui oleh media sialan itu? Apakah tubuhnya berbau seperti bangkai tikus? Sakura benci ini. "Kami normal."

"Mungkin," jawab Ino, mengaduk white mocca miliknya dengan sedotan sejenak. "Tidak, dengar. Pernikahan kalian hanya berjarak satu minggu dari hari ini, cobalah untuk saling terbuka dan mengenal sifatnya. Karena saat kau tinggal satu atap rumah bersama Sasuke, hidupmu tidak akan pernah menjadi lebih baik."

"Aku benci mengakuinya, bahwa kau memang benar. Kuharap aku menjadi perawat rumah sakit seperti dirimu daripada seorang aktris, kehidupan pribadiku sudah tidak lagi bersifat pribadi," Sakura terkekeh tidak berminat. "Omong-omong, bagaimana kabar Sai?"

Ino tiba-tiba semringah. "Dia baik. Galeri miliknya sudah buka sejak kemarin, datanglah ke sana saat kau ada waktu."

"Tentu saja," Sakura tersenyum, kemudian meraih ponselnya dari dalam saku mantel ketika benda itu bergetar ringan. Raut wajahnya berubah masam, menyadari nama yang tertera pada layar ponselnya membuat mood Sakura menurun. Ia menghela napas, memberi kode pada Ino bahwa ia harus mendahulukan panggilan tersebut. "Halo?"

"Aku di luar."

Sialan, setidaknya sedikit berbasa-basi tidak akan membuat isi mulutnya membengkak.

"Ya, aku hampir selesai." balas Sakura datar, memutuskan sambungan telepon lebih dulu dan mendecih samar. "Sasuke berada di parkiran, kurasa aku harus cepat menghampirinya sebelum baunya tercium oleh para wartawan."

Ino mengangguk, memaklumi bahwa saat ini sahabatnya adalah tokoh masyarakat yang sedang berada dipuncak. Bukan tidak mungkin berita-berita yang tidak penting sekali pun dapat menyebar di seluruh penjuru dunia Amerika. Ditambah lagi, gosip mengenai hubungan Sakura sudah menyebar dan menjadi buah bibir di berbagai siaran televisi atau pun majalah selebritas. Wajah Sakura dan Sasuke berada di mana-mana, tertulis dengan huruf kapital pada sampul majalah bahwa keduanya telah resmi bersama.

Meski begitu, masyarakat hanya mengetahui sampul luar tanpa tahu alasan keduanya dapat bersama, ya 'kan?

Sakura bangkit dari kursinya, meraih tas dan menggigit bibir ketika melihat kerumunan wartawan di luar sana semakin berdesakan. Sakura terkekeh lemas, kembali mengenakan masker wajah beserta topi dan kacamatanya. "Sampai jumpa nanti." ujarnya pada Ino, kemudian pergi dari sana sesegera mungkin ketika orang-orangnya sudah siap di depan pintu masuk.

Saat Sakura keluar, wartawan di sana dengan sigap mengerumuninya bagaikan semut yang menemukan cairan madu. Kamera mereka menyala, seolah siap membuat kornea matanya rusak karena cahaya yang muncul secara berulang-ulang. Mereka bertanya tentang pertanyaan yang sama, bagaimana, kapan, mengapa, dimana, perihal hubungannya dengan Sasuke Uchiha.

Sedangkan di seberang sana, Sakura dapat melihat pria itu duduk tenang di dalam mobilnya. Kaca mobil Sasuke terbuka setengahnya, tetapi pria itu mengenakan topi hoodie yang membuat kehadirannya tampak tidak disadari paparazi.

Sakura mendekati mobil tersebut dengan setengah berlari. Salah satu orangnya membukakan pintu mobil penumpang milik Sasuke, disusul dengan Sakura yang masuk ke dalam dan para wartawan di luar sana semakin histeris.

"Ya Tuhan! Sasuke Uchiha!"

"Astaga!"

"Tolong beri kami konfirmasi-"

"Nona Sakura!"

Tanpa bicara, Sasuke menghidupkan mesin mobilnya, melaju pergi dari sana meninggalkan kamera yang menyebar di mana-mana.

Sakura terengah-engah, meraih sabuk pengaman dan mengenakannya dengan cepat. "Sial, aku akan mati muda jika terus seperti ini." gerutunya seraya bersandar pada sandaran kursi. Sakura melepaskan topi beserta benda-benda menyebalkan itu dari tubuhnya, mengambil napas dan menoleh pada Sasuke yang sama sekali tidak bergeming.

Raut wajah pria itu datar, terkesan biasa saja dan tidak peduli, membuat Sakura berulang kali bersabar untuk tidak memutar kedua bola matanya jengkel. Ia melepas mantelnya kemudian meletakkan benda tersebut di kursi belakang, membuka satu kancing kemeja teratasnya dan kembali bersandar.

Sasuke menggeram samar di sampingnya. "Kenakan dengan benar."

"Apa?" jawab Sakura, mengangkat sedikit punggungnya dan menyamping ke arah Sasuke. "Kau berucap sesuatu?"

Sasuke melirik ke arahnya, hanya tiga detik sebelum akhirnya menepikan mobil yang ia kendarai di tepi jalan. Mereka berhenti di daerah yang tidak terlalu ramai, dengan jarak yang sudah cukup jauh dari lokasi cafe Starbucks tempat di mana para wartawan sebelumnya berada, seharusnya tidak akan terjadi masalah. Namun kenapa Sasuke berhenti dan membuka topi hoodienya?

Pria itu tampan, terlalu sempurna untuk bagian sampul luar. Dewa Yunani mungkin menjerit di atas sana dan meringis, Tuhan sepertinya menciptakan Sasuke dengan sebuah senyuman manis. Netra segelap langit malamnya menatap tepat pada Sakura, mengikuti gerak sang wanita sekecil apa pun itu. Termasuk ketika Sakura mulai tersudut di antara pintu di belakang punggungnya karena Sasuke kian mendekat.

Jakun pria itu bergerak halus di hadapannya, mengundang kedua netra Sakura untuk menyadari betapa kokohnya leher tersebut. Sedangkan kedua telapak tangan Sakura naik, menahan Sasuke agar tidak semakin menyudutkannya pada pintu mobil. Jantungnya berdebar terlalu keras. Sasuke terlalu dekat dan ia adalah wanita normal seperti wanita di luar sana yang terpesona pada sang Uchiha.

Telapak tangan Sasuke yang besar bersandar pada kaca di belakang kepalanya, dan Sakura menyadari satu hal ketika sesuatu yang bersinar berada di jari manis pria itu. Sasuke mengenakan cincin pertungan mereka, sedangkan dirinya tidak. Bagus sekali.

Wajah pria itu perlahan menuju perpotongan leher dan bahunya, bersembunyi di sana hingga Sakura tanpa sadar memejamkan kedua matanya, berdebar secara gila-gilaan ketika merasakan napas panas pria itu menyapu kulit lehernya. Wajah Sakura menghangat, "Apa yang kau lakukan?"

Jantungnya seakan merosot ke bawah ketika bibir dingin Sasuke menempel pada bagian bawah telinga. Mengirimkan sengatan listrik yang menyenangkan hingga membuat Sakura refleks menahan tengkuk Sasuke agar tidak menjauh.

Hal bodoh sederhana yang membuat Sasuke tersenyum samar.

"Jangan membuatku berubah menjadi calon suami nakal untukmu, Haruno."

***
What do u think guys?
I'll be delete this fic soon, if u all not like it.

Votes and comments!

**dikit dulu ya untuk awalan, kalo feedback kalian bagus, aku update cepet, yihaa /lol

Beautiful PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang