Mungkin aku sudah gila, tapi beberapa waktu terakhir setelah kunjunganku ke pesantren bang hasan, aku mulai memikirkan gadis itu.
Astagfirullah, semoga Engkau menjaga hatiku dari zina rabb...Tapi meski berkali kali ku ingatkan diriku untuk melupakan gadis itu, aku sering kali terbayang wajah polosnya saat pertemuan pertama dimana dia mengutarakan perasaannya padaku.
Dan ya waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa saat itu sudah berlalu 1 tahun. Saat bertemu di pesantren bang hasan, saat itu aku hendak berpamitan pada beliau untuk melakukan pengabdian didesa sebrang.Dering telepon membuyarkan lamunan singkatku, selama di desa ini sudah 4 kiai yang menawarkan anak gadisnya untuk ku nikahi, namun mereka mundur teratur saat ku tanyakan pendapat mereka tentang poligami, jujur aku hanya ingin tau pendapat mereka namun mereka sepertinya enggan membahas hal tersebut.
" Assalamu'alaikum, Fik jadi kapan kamu pulang?" Suara umi, yang selalu kurindukan
"Waalaikumussalam umi, insyaAllah lusa pesawat fikri sudah mendarat di Soeta"
" Ya sudah hati-hati fik, salam sama abah yai di sana"
" iya umi"
"Assalamu'alaikum"
"Waalaikumussalam". Ku letakkan kembali hp di atas nakas tempat tidur, hari ini aku ada jadwal mengisi pengajian di mesjid desa, sekalian pamit pada masyarakat desa sebelum kepulanganku.****
Hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu sejak aku menginjakkan kakiku kembali di tanah kelahiranku, malam ini abi mengumpulkan semua putra putrinya di pesantren An-Nur, pesantren yang masih dikelola abi sampai saat ini. Abang-abangku sudah tiba sejak sore tadi, hanya tinggal ka' nisa yang belum tiba, kemungkinan masih dijalan karna jarak rumahnya yang paling jauh.
Tepat setelah adzan maghrib kak nisa dan bang firman tiba, diikuti rehan dan rena yang membawa beberapa bingkisan ditangannya."Kamu apa kabar de?" Aku menyalami tangan ka' nisa dan bang firman bergantian
" Alhamdulillah baik ka', rehan dan rena apa kabar?" Aku menghampiri dua bocah kecil yang tak lain adalah kedua ponakanku, ya mereka kembar dengan usia yang baru menginjak 6 tahun." sangat baik bi, rena rindu bibii" rena memang cukup dekat denganku, alih-alih memangggilku paman atau om seperti rehan, dia lebih suka memanggilku bibi, entah dapat dari mana panggilan itu.
"Sudah-sudah, kita ke mesjid dulu" sepertinya umi dan abi sudah di mesjid karna yang barusan mengajak kami adalah bang hasan, sedangkan bang Adam ku lihat tadi sudah beragkat bersama ka' Fitri.
Kedua abangku sudah memiliki keluarga, dan kini menjadi pimpinan di dua pesantren yang cukup besar, berbeda dengan ka'nisa yang lebih memilih menikah dengan seorang dokter saraf dan sempat menolak lamaran dari bang hilmi yang notabene putra kiai.
Aku mulai menerka- nerka, tidak biasanya abi mengumpulkan semua putra putrinya dsini, biasanya jika merasa rindu, abilah yang berkunjung.
"Baiklah karna semuanya sudah berkumpul, abi akan memulai pertemuan kita kali ini" abi menghela nafas pelan"Abi ingin menanyakan pada Adam dan Hasan, apakah kalian keberatan jika pesantren ini dialihkan pada Fikri?" Apa, apa maksud abi? Pesantren ini..
"Apa maksud abi?" Tanpa ku sadari pertanyaan itu keluar dari bibirku, namun abi hanya mengangkat tangannya pertanda aku harus menunggu giliran untuk bicara.
" Saya tidak keberatan abi" Bang Hasan menjawab lebih dulu disertai senyum teduhnya.
" Saya juga tidak keberatan bi, lagi pula kalau bukan Fikri siapa lagi yang sanggup melanjutkan perjuangan abi disini, kami sudah tidak mungkin lagi," Sepertinya kedua abangku sedang bersekongkol kali ini."Bagaimana menurutmu fik?" Akhirnya pertanyaan itu ditujukan padaku.
" Maafkan fikri bi, tapi fikri merasa belum pantas"
" Bukan sekarang fik, tapi nanti kalau abi sudah tidak sanggup lagi" jelas umi menenangkanku yang mulai gelisah.
"Dan ya, masalah pesantren masih nanti fik, tapi ada hal yang perlu segera kamu tunaikan" abi memandang ku, aku mulai waspada menunggu kata yang akan keluar setelahnya.
"Segeralah menikah fik, umurmu sudah 28 tahun sudah saatnya kamu membina ruma tangga, apa kamu sudah ada calon?"
"Jujur Fikri belum kepikiran soal itu bi"
"Abi punya beberapa rekomedasi jika kamu berkenan, Kemarin sebelum kamu kembali, kiai Munif menemui abi beliau ingin meminta kamu untuk menjadi menantunya""Kiai munif bi? Maksud abi Fikri menikah dengan Khanza?" Khanza adalah sahabatku sejak kecil, mana mungkin persahabatan kami berlanjut kepelaminan
"Bukan untuk Khanza Fik"
"Bukannya Kiai Munif hanya punya satu putri bi?" Hampir saja pertanyaan itu kulontarkan tapi ka' nisa sudah lebih dulu bertanya.
"Kiai Munif Punya dua Putri, namun sejak kecil putri keduanya di asuh oleh kiai Mahmud, beliau tinggal di mesir, dan 2 bulan yang lalu putrinya baru kembali"
"Bagaimana fik?" Kali ini umi mulai mengelus tangaanku membuatku semakin gugup.
" Fikri manut abi saja, jika memang yang terbaik insyaAllah Fikri siap menjadi imamnya"
"Alhamdulillah, akan segera abi bicarakan dengan kiai Munif" pertemuan ini berakhir dengan keputusan seputar masa depanku, jodohku tunggulah aku menjadi imamu,.
Sepertinya aku meningat gadis itu lagi, gadis yang mengharapkan ku menjadi imamnya,.
Astagfirullah, jagalah hatiku Rabb..
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR
SpiritualHanya cerita pendek yang tiba-tiba terlintas dan tak ingin hilang begitu saja