Chapter 1 ; Riri

961 51 0
                                        

Namaku Evhan Reonaldy, umurku 17 Tahun, aku dulunya seorang anak yang ceria, hiperaktif dan selalu jahil pada kakak kakakku, tapi ingat! Itu dulu, Evhan yang sekarang adalah Evhan yang berbeda dari Evhan yang dulu, Evhan yang sekarang adalah Evhan yang sangat pendiam dengan tatapan datarnya.

Setiap orang pasti punya banyak hal yang tidak disukai bukan? Termasuk aku! Kalian tahu apa yang tidak kusukai? Itu adalah hari istimewaku sendiri....

Yaitu....

Hari ulang tahunku!

Kalian pasti menganggapku aneh kan? Karena semua orang pastinya selalu menunggu hari itu, dimana semua orang mengucapkan 'selamat' pada kita, tapi itu tidak berlaku untukku. Alasannya? Sederhana saja, karena di hari itu, kedua orang tuaku pergi untuk selamanya, kakakku pernah mengatakan jika mereka pergi karena ulahku, dan sebab itulah aku membenci hari kelahiranku sendiri.

Terkadang aku bertanya tanya, mengapa hanya aku yang selamat dan tidak memiliki luka apapun? Sedangkan kedua kakakku mengalami patah tulang di bagian kaki dan tangannya, walaupun itu hanya sementara, tapi sejak saat itu mereka membenciku.

Membenciku karena keadaan saudara kembarku....

• • •

Pukul 5.30 pagi, seorang anak laki laki sedang bersiap siap dengan seragam sekolahnya, kalian tahu siapa dia? Ya, dia adalah si bungsu Evhan Reonaldy.

Dengan wajah datarnya, Evhan merapikan dasi dan jas almamater yang dia pakai sambil menatap ke arah cermin yang menampilkan pantulan dirinya. Setelah dirasa cukup, ia menatap lekat wajahnya sambil menghembuskan nafasnya pelan lalu memejamkan matanya.

# Evhan Pov.

"Huft... Satu lagi hari yang buruk" Aku membuka mataku dengan perlahan "atau mungkin akan seterusnya begitu" gumamku.

Setelah dirasa rapih, aku segera mengambil tasku dan menyampirkannya di bahu kananku, kemudian segera turun untuk pergi berangkat sekolah. Jika kalian bertanya 'apakah aku akan diantar oleh keluargaku?' Jawabannya adalah 'tidak dan tidak akan pernah.'

Saat sampai di tangga, aku bisa mendengar suara canda tawa di sana, aku juga ingin merasakannya lagi dengan mereka, tapi... Seketika aku tertawa hambar mengingat jika mereka membenciku.

Ah sudahlah! Aku tidak ingin membahasnya!

"Aku berangkat!" ucapku datar sambil berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban, karena mereka tidak akan menjawabnya, ya kecuali satu orang.

"Eh Evhan? Tunggu ini masih subuh!"

Aku menghiraukan ucapan saudara kembarku itu dan segera berjalan menuju halte bus yang kira kira lumayan jauh dari rumah, aku duduk diam disana sambil mendengarkan lagu dari earphone yang kupasang di kedua telingaku. Sampai seseorang tiba-tiba duduk di sampingku, sebenarnya aku tidak mempermasalahkannya, toh ini juga tempat umum bukan? Tapi yang jadi masalahnya adalah, dia mengganggu!

"Apa?" ucapku dengan kesal karena dia dengan beraninya melepas earphone di telingaku seolah sudah akrab denganku, tunggu! Dia memakai seragam yang sama denganku, tapi aku tidak mengenalnya.

"Woah! Lo emang Evhan si pangeran sekolah" ujar perempuan itu, aku hanya diam menatap anak itu.

Siapa yang pangeran? Aneh!

"Ah iya, kenalin gue Riany Aurelie, lo bisa manggil gue Riri" Aku tersentak saat tiba tiba dia menarik tanganku dan mengenggamnya lalu memperkenalkan diri.

"Tangan lo dingin" ujarnya sambil menatap tanganku kemudian menggosoknya pelan.

"Udah lebih anget belum?" tanyanya.

"Lepas" Bukannya menjawab, aku menarik kembali tanganku dengan sedikit kasar.

Dia terdiam, aku langsung memakai earphoneku lagi dan melihat jam tangan, jam 05.41. Aish ternyata masih terlalu pagi, pantas saja hawanya terasa dingin, ditambah awan mendung, sepertinya hari ini akan ada hujan.

"Gimana ini?"

"Gue telat."

"Ya ampun... Aargh."

"Bus... Please dateng...."

"Bisa diam gak sih!" seruku yang mulai jengkel dengan sikapnya, terlambat katanya? Apa dia tidak bisa melihat jam dengan benar?

"Eh? Maaf" Akhirnya dia diam, tapi setelahnya ia kembali berbicara, "Evhan, kenapa lo masih bisa tenang? Kita udah telat ini."

Aku menganggkat sebelah alisku lalu menatap arah jalanan, "Itu busnya" ujarku.

Dia menoleh kemudian berdiri dan memperhatikan busnya, aku menatapnya intens, "Bodoh" gumamku lalu berdiri.

Saat busnya sudah sampai di halte, kami berdua langsung masuk ke dalam. Tetapi di dalam hanya ada 1 kursi yang kosong, sedangkan kami berdua. "Lo aja yang duduk" ujarku.

"Eh?" Dia menoleh dan menatapku bingung.

"Duduk!"

"Tapi-"

"Gua bisa berdiri" Dia terdiam sebelum akhirnya duduk di kursi, sedangkan aku berdiri di sampingnya. Aku sungguh menyesal tadi tidak membawa jaket ke sekolah, ini sangat dingin.

Sret.

"Apa yang-"

"Ssstt! Diam. Pakai aja gue tau lo kedinginan" ujarnya sambil memakaikanku sarung tangan miliknya.

"Sini tangan lo satu lagi."

Aku terdiam sebentar lalu menghela nafas panjang dan memberikan tanganku padanya, dia menarik tanganku lembut lalu memakaikan sarung tangannya, terlalu kecil tapi ini lebih baik.

"Kalian serasi."

Aku menoleh ke belakang dan menatap seorang ibu yang sedang menatap ke arah kami, "Kalian serasi, tampan dan cantik, kalian juga lucu dan romantis" Lanjut ibu itu sambil tersenyum.

Aku hanya terdiam lalu menatap kearah Riri, menatapnya bingung ketika melihat dia sedang menunduk, "Ada apa?" tanyaku.

Dia menggeleng.

Aku kembali menatap ibu tadi kemudian tersenyum simpul, ibu itu membalas senyumku, aku mengalihkan pandanganku ke arah jalanan.'Sebentar lagi sampai' Batinku.

Lalu setelah bus itu berhenti, aku menepuk pundak Riri, "Turun udah sampai" Aku berjalan mendahuluinya keluar dari bus.

Kami berjalan menuju gerbang sekolah yang tentu saja masih tertutup, "Pak buka pintunya" ujarku saat melihat seorang satpam di dalam pos.

"Eh? Ini masih pagi banget, kau murid yang rajin, biasanya remaja seusiamu selalu datang terlambat apalagi laki laki." ujar satpam itu, aku tersenyum tipis.

"Terimakasih pak" ujarku setelah satpam itu membukakan gerbangnya.

"Sama sama" jawabnya lalu aku berjalan menuju kelasku, sedangkan Riri berjalan di belakangku.

"Ah iya, kelas gue disana, gue duluan ya" ujar Riri.

"Tunggu" Aku melepaskan kedua sarung tangan yang tadi ia berikan padaku.

"Ini."

"Eh? Pakai aja dulu gap-"

"Cepat ambil" Potongku cepat.

"Ah oke" ujarnya lalu mengambil sarung tangannya.

"Thanks, gua duluan" ujarku lalu kembali berjalan menuju kelas.

Sesampainya disana, hanya ada keheningan yang menyapaku, kelas ini sungguh sepi.

Yah Tentu saja, ini masih sangat pagi.

Aku duduk di bangku milikku yang berada di pojok dekat jendela kelas, memakai earphone dan mendengarkan lagu kembali, melipat kedua tanganku di atas meja dan menelungkupkan wajahku di atasnya sambil menatap keluar jendela.

Akhirnya karena terbawa suasana, aku mulai memejamkan mata, tidur sebentar tidak akan jadi masalah bukan? Lagipula ini masih sangat pagi.

• • •

Don't Give UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang