Aku menatap mata Anisa yang tampak antusias mendengar ceritaku. Mata coklatnya berbinar dengan rekahan senyum yang tak juga layu dari wajahnya. "Jadi gitu," ucapku menyudahi curhat panjangku. Kurasakan pipiku yang panas karena malu dan terlalu lama berbicara. Anisa terkekeh kecil saat aku mengusap wajah gemas, tak banyak tanggapan darinya selain kalimat godaan yang membuat wajahku semakin panas saja.
"Adi lewat, San!" bisik Anisa sambil mengguncang lenganku heboh. Menanggapinya aku jadi panik sendiri lalu memalingkan wajah menghindari arah datangnya Adi, objek curhat panjangku sejak tadi.
"Adi!" Anisa menyapa riang sambil melambai kecil.
"Hai Nisa! Hai Sania!" mendengar namaku disebut, setengah enggan aku menghadap Adi untuk menyetor seulas senyum sapa dan membalas ucapan hai yang nyaris tak terdengar.
Aku tidak bisa menahan rasa malu yang mendadak membuncah jantung, setelah Adi pergi spontan ku raih lengan Anisa lalu kuremas gemas. Anisa tak menanggapi selain dengan kekehan kecil dan wajahnya yang bersemburat merah muda.
.
Apa yang membuat Adi dikelilingi aura bahagia hari ini? Dengan segala riuh yang mengiringinya sejak tadi pagi. Aku hanya menatapnya tajam dari bangku pinggir kiri barisan tengah kelas, sambil memainkan pulpen di tangan kananku.
Masih dengan buncah di jantungku. Kali ini bukan rasa malu atau rasa bagai dihinggapi kupu-kupu, melainkan rasa sesak seakan jantungku hendak meledak. Aku emosi, sedih dan marah. Ingin menangis tapi aku sadar tempat, ingin memaki aku sadar diri. Siapalah aku? Apa hak ku? Berbicara dengan Adi pun baru beberapa kali jadi jangan bilang kita teman dekat.
Jadi apalah yang bisa kulakukan saat pagi ini aku mendengar riuh di ruang kelas menggoda Adi yang katanya sudah taken. Apa itu masalahnya? Bukan. Itu memang menyedihkan tapi tidak menyulut amarah. Lantas apa yang membuatku marah?
Ketika nama yang disandingkan saat mereka menggodanya adalah nama yang sangat akrab di telingaku, nama sahabatku, Anisa.
Tepat sebelum langkah pertamaku menjejaki kelas, Anisa langsung menangkap tangan kananku, menggenggamnya. Matanya menatapku dengan penuh binar penyesalan. Mata coklat yang seminggu lalu berbinar riang mendengar curhatku kini redup karena rasa bersalah. Kerena dia lah yang took Adi away. "Sania, maafin aku"
Karena selama seminggu ini dia menjalin komunikasi dengan Adi di saat aku yang secara terang-terangan curhat padanya hanya bisa memendam perasaan tanpa tahu apapun.
Kalau mereka tidak jadian, kalau teman-teman Adi tidak heboh membicarakan, apa aku akan tetap menjadi orang yang disakiti dari belakang?
.
.
Dedicated To: Asma K