NF

17 3 7
                                    

Duduk berhadapan dalam ruangan tertutup berAC membuatku sedikit gugup. Ah, memang bukan hanya aku sendiri yang sedang menghadapnya tapi tetap saja...

Aku tatap laki-laki yang saat ini duduk di hadapanku sedang berbicara, menjelaskan bagian yang tadi kutanyakan. Emm... tapi tak banyak yang kutangkap, karna aku tidak bisa fokus.

"Mengerti?" Aku tersentak dari lamunan kosongku, mengerjap beberapa kali sebelum bertemu pandang dengan manik matanya yang sedang menatapku.

"Ah..." aku hanya mengangguk ragu, pelan, sambil bergumam mengiyakan.

"Oke, saya lanjut ya," ucapnya yang merupakan tutor bimbelku dengan senyuman ramah. Yang manis. Lucu. Bikin gemas.

Aku lantas cepat menunduk saat dia melihat ke arahku, pura-pura mencatat apa yang dia jelaskan. Menutupi seringai yang sudah susah payah ku tahan tapi tetap merekah juga. Juga mengantisipasi kalau-kalau wajahku merona.

Dalam hati aku merutuk diriku yang dengan mudahnya terpikat pada seseorang. Uhh... yang paling ku sesali adalah aku yang kemaren berpikir kalau Tutorku ini cowok yang manis, datang dari mana sih ide seperti itu? Padahal harusnya aku fokus belajar.

Yah kalau jujur sih, Tutor yang satu ini memang manis. Tak hanya itu, dia juga Tutor tereasy-going, ramah, atraktif, dan asik menurutku. Aku jadi senang konsul sama dia, apalagi dia emang literary manis. Wajarkan, kalo aku betah sering konsul padanya?

Dia tidak hanya asik saat bertatap muka, tapi juga saat berbalas pesan. Aku tidak yakin apa itu memang sifat aslinya atau memang hanya karna profesionalitas kerja. Caranya membalas pesan yang kukirimkan jujur saja membuatku yang sejak awal sudah tertarik padanya semakin terbawa perasaan.

Semakin terbawa perasaanku karna kak Tutor, semakin sering aku ingin bertemu dengannya. Well, tentunya dengan meminta konsul sama dia yang hampir tiap hari aku lakukan. Termasuk hari ini.

.

Aku menghela napas berat sambil menatap ruang obrolan di hpku. Sedikit menscroll untuk melihat kalau saja pesan yang pernah kukirim sebelumnya berisi kalimat yang berkemungkinan menyinggungnya.

"Apa karna aku keseringan konsul, ya?"

"Apa jangan-jangan kak Tutor sadar kalo aku suka sama dia, terus dia jadi ga nyaman?"

"Atau emang karena dia sakit jadi ga mau ngelayanin konsul dulu?"

"Apa dia sakit karena aku keseringan minta konsul, ya?"

Mulutku komat-kamit bertanya hal tersebut berulangkali pada diriku sendiri. Memupuk rasa cemas tak penting yang membuatku merasa semakin down. Apalagi tadi temanku menggodaku dengan mengatakan kalau aku terlalu kepedan jika merasa sebagai penyebab sang Tutor menolakku.

Yap, dengan saat ini sudah dua kali dia menolak permintaan konsul dariku.

"Kalau besok dia masuk terus ketemu, aku harus gimana?" Aku lagi-lagi bertanya pada diriku sendiri.

Menghela napas yang terakhir kali sebelum menutup ruang obrolan dan beranjak menuju kasur. Berharap besok aku bisa biasa saja.

.

Mini StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang