Aku ini tangguh—buktinya aku rela menjadi rumah duka meski reyot juga penuh nestapa.
Aku ini tangguh—buktinya aku tak mengusir yang datang saat tak ada tempat berkeluh kesah dan denganku mereka diberi ruang.
Aku ini tangguh—buktinya aku tak merengek saat sepi menabuh benak hingga terporak-poranda.
Aku ini tangguh
—tapi biarkan malam ini menjadi rapuh,
berinkarnasi menjadi kayu yang ditelan api hingga berubah menjadi abu,
menjadi kunang-kunang yang berteman dengan bulan, dan dalam dua purnama aku menjadi tiada,
menjadi apapun itu,
biarkan aku menjadi rapuh—menjadi diriku yang sebenarnya, melepas topeng yang terpasang, menjadi jujur meski harus mengungkap keadaanku yang lebur.Aku sedang rapuh dan ingin pulang,
pada punggung, pundak, atau lenganmu yang aku tahu dahulu selalu terbuka,
entah sekarang bagaimana.Aku ingin pulang.
Punggungmu adalah lautan,
aku ingin pulang sebab denganmu aku akan menenggelamkan seluruh isi kepalaku di sana.
Aku ingin pulang,
namun pundakmu tak lagi lapang.
Jika memaksa,
aku hanya akan binasa saat menyelam dalam suhu dinginmu yang membuatku menggigil,
sedangkan kamu berbuat nihil.Aku ingin pulang,
pada lenganmu yang merengkuh.
Asal kamu tahu, lenganmu adalah deburan ombak yang menenangkan.
Namun, tanpa kamu sadari, lenganmu kini bergemuruh, menepis aku yang datang,
membiarkan aku yang buta kehilangan.Aku ingin pulang.
Ingin sekali.
Namun, apakah kamu masih menjadi peraduanku?
Atau aku yang belum bisa menerima bahwa waktu sedang memberitahu aku yang tak patut memiliki peraduan?—2712.
#Kisah2712
#KitaBersua
KAMU SEDANG MEMBACA
Etalase Rasa
PoetryBerisi kumpulan kenangan-luka, duka, suka, bahagia, bercampur dan melebur.