Prolog

96 7 10
                                    


      "Ta! Itu berkas musti segera lo revisi. Si Bos udah nungguin dari tadi di ruangannya." Suara nyaring Wita datang dari balik kubikel yang kian menelan tubuh kurusnya.

Ananta gadis itu hanya mampu mengendus sebal pada teriakan penuh perintah itu. "Oke, lima belas menit lagi otw ke si Bos." Jawabnya dengan sebelah tangannya membentuk tanda ok.

"Ta! Itu desain PT. ATRA udah lo cek belum?" Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang kini berdiri tepat di samping kirinya.

"Belum kelar Mas, tangan gue cuma dua elah. Satu-satu yaa.." pintanya memelas. Berharap wajahnya yang kuyu itu mampu membuat laki-laki di depannya itu luluh.

"Deadline nya  besok loh Ta. Gue nggak mau yah, pas mau rapat belum kelar," tukasnya final.

Sial seribu sial.

Ananta ingin rasanya mengumpat sekarang juga, tapi urung melakukan. "Oke deh, abis revisi ini gue cek ulang." Pada akhirnya dia harus mengalah lagi.

Diliriknya jarum jam diatas meja kerjanya yang kini menunjukkan pukul 14.56 berarti dia sudah melewatkan jam makan siangnya lagi dan lagi. Dia cuma bisa berdoa semoga saja cacing-cacing di perutnya nggak pada demo.

"Telat lagi deh," gumannya.

"Lo telat Ta?" pekik seorang gadis dari seberang kubikel miliknya. "Sama siapa?" sambungnya seraya bangkit dan menyembulkan kepalanya panjang-panjang kearahnya.

"Telat makan Ren," Ananta menjawab seruan Rena dengan dengusan sebal. Teman satu kantornya itu memang sering buat masalah atau biasa disebut si biang gosip. "Bantuin gue kek," pintanya yang hanya dijawab senyuman tak bersalah miliknya.

"Sorry Ta, gue masih ngerjain desain Pak Sugeng. Lo laper? Nih makan ini dulu. Lumayanlah buat nganjel perut." ujarnya seraya menyodorkan sebungkus roti lapis isi kacang.

Sebenarnya dia tak menyukai kacang. Bisa dibilang menghindari malah. Tapi berhubung perutnya sudah kosong dari pagi tadi, jadi terpaksa dia menerimanya.

"Thanks," ungkapnya dengan sebelah tanganya yang mengacungkan sebungkus roti dari Ren itu.

"Bayar tapi Ta,"

Baru mau mulai mengunyah gigitan pertamanya, kalimat yang di ucapkan Ren tak pelak membuatnya tersedak.

"Gila lo! Kalo tau gue disuruh bayar mending gue kabur ke kantin tadi." Ananta berujar dengan sesekali menepuk-empuk dadanya. Tersedak roti itu nggak se-enak rasanya ternyata.

"Bercanda elah. Hidup lo serius amat," Cengiran tak bersalah tergambar diwajah cantik gadis itu. "Udah ah, kaga kelar-kelar ntar. Si botak udah ngomel dari tadi. Lo juga cepetan! Mau tidur di kantor emangnya?"

"Ren, ada..." Seorang laki-laki datang menginterupsi perdebatan keduanya.

"Eh, Mas Rian. Ada apa mas?" Kepala gadis itu secepat kilat menoleh kearah sumber suara. Kedua matanya berbinar melihat sosok tampan yang sedang berdiri di samping kubikel keduanya.

Si Renatha emang ya dasar. Kalo udah ada cowo bening aja lupa sama sekitar.

Ananta hanya mengendus sebal melihat tingkah teman satu devisi nya itu. Memakan dengan cepat dan segera kembali meneruskan pekerjaannya yang sedikit tertunda.

Dia berharap sebelum malam tiba, semua pekerjaannya sudah selesai. Tubuhnya sudah mulai kelelahan sejak beberapa bulan ini. Belum lagi masalah yang lain. Seakan semuanya memang diciptakan untuk membuatnya mati berdiri.

  

                                         12 October 2018

ANANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang